Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
FeatureOlahraga

Ketika Emosi Menguasai Matras: Perspektif Antropologi Komunikasi pada Latihan Bela Diri

×

Ketika Emosi Menguasai Matras: Perspektif Antropologi Komunikasi pada Latihan Bela Diri

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072
Example 468x60

Oleh: Sintani Izza Maulani, Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Dalam latihan bela diri, matras bukan hanya sebagai tempat untuk mengasah teknik fisik, tetapi juga menjadi ruang untuk emosi dan komunikasi jalan beriringan. Emosi sering kali mengambil alih dan memengaruhi cara berinteraksi kita, baik dengan sesama siswa, ataupun siswa dengan pelatih. Salah satu fenomena cukup seksi dalam konteks ini adalah ketika “cinta lokasi” muncul di dalam unit latihan bela diri itu sendiri, yang pastinya akan memengaruhi dinamika sosial di atas matras.

Example 300x600

Perspektif antropologi komunikasi, matras ialah tempat berkomunikasi yang tidak hanya melalui kata, melainkan melalui ekspresi tubuh, gerakan, dan interaksi fisik. Seperti misalnya saat sparring. Sparring bukan cuma soal pengaplikasian teknik, speed, dan power, tapi juga tentang siapa yang menjadi wasit, siapa yang lebih mendominasi, dan siapa yang menjadi lawan. Ketika emosi masuk dalam gelanggang, apalagi membiarkan hubungan personal ikut andil, semua akan rumit. Kacau balau, profesional saat latihan pun akan lenyap.

Ketika ada ketertarikan atau more than that, for example like love, maybe? Sadar tidak sadar, interaksi pasti berubah. Gerakan tubuh, ekspresi wajah akan lebih terjaga. Mungkin saling melirik, atau suasana berubah tegang, bahkan saling cemburu. That will happen when emotions are uncontrolled. Dan sialnya, hal itu akan memporak-porandakan hubungan dan profesional yang ada dalam unit latihan.

Paul Ekman mengemukakan, pada teori ekspresi emosi, emosi kita cenderung tercermin dalam ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Jadi, ketika emosi itu muncul, tidak hanya memengaruhi apa yang kita katakan, tetapi juga akan memengaruhi cara kita bergerak di atas matras. Misalnya, saat berlatih dengan orang yang kita sukai, mungkin kita akan lebih berhati-hati dan ekstra perhatian. Seperti contoh, ketika teknik bantingan dan bertahan, ternyata partner kita adalah orang yang kita cintai. Kemudian kita dengan reflek menggunakan power 100% dan dia terbentur dengan begitu kencangnya. Kemungkinan yang akan terjadi adalah kita menghampiri dan menanyakan kabarnya. “Kamu nggak papa? Maaf ya, aku terlalu kenceng bantingnya.” Setelah itu menjadi orang yang tidak tegaan.

Dor, selesai. Keluar aja sekalian dari gelanggang!

Rasa tidak tegaan itulah yang akan merusak proses dan hasil. Karena kasihan, kita akhirnya tidak lagi menggunakan power dan speed, begitupun dia tidak akan belajar untuk mempertahankan diri agar tidak terbantai. Habislah nanti kita ketika latihan yang seperti itu dibawa ke pertandingan. Mati kita.

Juga, ketika emosi terkelola dengan buruk, perasaan yang timbul akibat cinlok akan menjadi gangguan dan hambatan. Keterlibatan emosi dalam latihan bisa menciptakan ketidaknyamanan, untuk diri sendiri, pasangan latihan, dan seluruh anggota unit latihan. Emosi yang tidak terkelola dengan baik bisa berujung konflik, baik secara verbal maupun nonverbal. Seperti misalnya, cemburu karena yang menjadi partner dia bukan kita, melainkan orang lain.

“Harus banget ya kamu partneran sama dia? Nggak bisa ya, kamu partnernya aku aja?”

Udah, bikin unit latihan aja sendiri berdua. Kelar udah kalo gitu, mah. Adanya elemen cinlok, bisa menjadi masalah yang lebih kompleks dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Namun, di sisi lain, hubungan seperti itu bisa juga membawa dampak positif. Ketika keduanya bisa saling bekerja sama, saling mendukung, memberikan perhatian lebih pada detail gerakan sehingga bisa saling koreksi, atau berusaha keras untuk menjadi lebih baik demi orang yang kita cintai. Dengan catatan, harus tetap profesional.

Jadi, ketika emosi—terutama yang melibatkan hubungan personal—menguasai matras, semuanya memang akan jadi lebih rumit. Walaupun, tetap ada sisi positifnya. Akan tetapi, tidak bisa mengubah kodrat matras sebagai arena latihan yang harus mengedepankan fokus, kedisiplinan, dan pengendalian diri. Dalam hal ini, komunikasi non verbal menjadi semakin penting. Kita akan belajar membaca tubuh dan ekspresi, juga belajar untuk mengendalikan emosi agar tidak mengganggu dinamika latihan. Seiring dengan rotasi bumi, anggota akan belajar untuk memisahkan antara perasaan personal dan tujuan latihan.

Matras bukan panggung sandiwara pribadi, melainkan tempat untuk pengembangan fisik dan mental. Ketika emosi menguasai, di situlah saatnya kita menyadari pentingnya mengelola ekspresi emosi—baik di dalam ataupun di luar latihan—agar keharmonisan dalam komunitas beladiri tetap terjaga. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Feature

Oleh: Wortelina Aku kira aku akan menjadi orang…

Feature

Oleh: Perempuan Sebalik Tawa Hidup adalah sebuah pilihan….