Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

Paradoks Efek Terapeutik: Obat Baginya Racun Bagiku

×

Paradoks Efek Terapeutik: Obat Baginya Racun Bagiku

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Risda Alifia Khorelinda, Mahasiswa Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Salatiga

Gerimis sore itu mengguyur halaman pondok, membasahi tanah yang sudah sejak siang memancarkan panas. Tapi dinginnya hujan tak mampu meredakan gelisah di hatiku. Sepulang dari madrasah sore, aku bergegas menuju deretan telepon umum di sudut asrama. Biasanya, saat-saat seperti ini, antrean panjang santri memenuhi area itu—semua berlomba-lomba untuk berbicara dengan orang tua mereka. Tapi kali ini, aku tak peduli. Aku meneguhkan hati, melangkah di antara kerumunan, dan saat akhirnya tiba giliranku, tanganku gemetar memutar nomor kakek. Suara berderak dari sambungan telepon semakin menambah sesak di dadaku. Begitu panggilan tersambung, suaraku langsung pecah.

Example 300x600

“Aku nggak mau, Kek! Aku nggak mau!”

Di seberang sana, kakek terdiam sejenak. Namun, suaranya yang lembut segera terdengar, mencoba meredakan gejolak dalam hatiku.

“Kamu yang tenang di sana, ya? Belajar dan mengaji yang fokus. Ini biar jadi urusan kakek.”

Kata-katanya seharusnya menenangkan, tapi justru membuat bendungan air mataku pecah. Aku merapatkan telepon di telinga, menahan isak yang akhirnya lolos begitu saja. Setelah beberapa saat, aku menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi. Kakiku melangkah gontai menuju kamar asrama, bersiap untuk sholat Maghrib, tapi hatiku tetap terasa kosong.

Sudah tiga hari ini tubuhku terasa lemas. Kepala pening, dan demam membuatku tak bisa fokus belajar. Semua ini pasti karena pikiranku yang tak pernah tenang sejak telepon terakhir dengan kakek. Aku berusaha kuat, tapi nyatanya tubuhku menyerah lebih dulu.

Siang itu, saat aku berbaring di asrama dengan keringat dingin membasahi pelipis, suara pengumuman terdengar dari pengeras suara pondok.

“Kepada saudari Resya Zaqueena, harap ke ruang tamu. Sudah ditunggu keluarga.”

Hatiku berdebar. Keluarga? Siapa? Kakek? Atau… Aku buru-buru bersiap meski tubuhku masih terasa lemah. Seorang teman membantuku berjalan menuju ruang tamu. Sesampainya di depan pintu, langkahku terhenti. Mataku langsung tertuju pada sosok pria yang sudah lama kurindukan. Ayah. Tapi di sampingnya, berdiri seorang wanita yang selama ini menjadi sumber keresahanku. Tiba-tiba, hatiku terasa sesak. Ayah tersenyum saat melihatku.

“Gimana kabarnya? Udah enakan belum badannya?” tanyanya lembut.

Aku hanya diam. Tenggorokanku tercekat. Air mata yang sudah kutahan sejak tadi akhirnya jatuh begitu saja. Ayah menghampiriku, meraih bahuku dan mengusap air mataku sambil mengelus kepalaku.

“Nggak apa-apa, Nak. Ayah di sini.” Aku ingin bicara, tapi tangis menelanku bulat-bulat. Wanita itu, yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat suara.

“Bawa pulang dulu aja, Mas. Kasihan, badannya masih panas,” katanya, suaranya terdengar lembut, tapi telingaku menolak menerimanya.

Tanpa banyak bicara, Ayah menggendong tas kecilku dan menuntunku keluar pondok. Aku menunduk sepanjang jalan, tak ingin menatap wanita itu. Di mataku, dia bukan penyelamat, tapi ancaman. Perjalanan pulang terasa panjang meski hanya satu jam. Ayah beberapa kali mencoba mengajakku bicara, tapi aku hanya menjawab singkat. Wanita itu duduk di belakang dan aku disamping ayah.

Mobil melaju pelan di jalanan yang mulai temaram. Hujan rintik-rintik di luar jendela menambah dinginnya udara. Ayah menoleh sekilas ke arahku yang duduk diam di kursi sampingnya.

“Mau makan apa?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana. Aku tetap diam, menatap kosong ke luar jendela.

“Bakso? Soto? Atau nasi goreng? Nih, banyak yang enak di pinggir jalan,” lanjutnya, menyebut satu per satu tempat makan yang kami lewati.

Aku masih tak menjawab. Suara ayah makin lama terdengar seperti dengungan yang mengganggu. Hingga akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah restoran grill dan shabu.

“Kita makan di sini aja, ya? Badan Caca lagi nggak enak. Pasti enak kalau makan yang hangat-hangat,” kata Ayah sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk kecil. Bukan karena aku setuju, tapi karena aku lelah melawan. Kami duduk di meja dekat jendela. Hidangan mulai disajikan, dan Ayah beranjak ke meja minuman untuk mengambil es teh dan air hangat untuk kami semua. Aku masih diam, mengaduk kuah di panci kecil di depanku tanpa selera. Tiba-tiba, suara wanita itu memecah kesunyian.

“Kamu kenapa, sih? Dari tadi diam aja,” katanya pelan, tapi nadanya sarat kekesalan.

“Ayahmu udah berusaha ngajak kamu bicara. Kasihan, kan, jadinya? Aku juga nggak tega lihat ayah kamu digituin.”

Aku hanya melirik sekilas ke arahnya. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Aku membuang pandang ke arah lain, berharap percakapan itu segera berakhir. Perjalanan pulang terasa lebih berat dari sebelumnya. Mobil melaju tanpa suara selain gumaman radio yang samar. Dari kursi depan, aku bisa mendengar isak pelan. Wanita itu menangis. Aku tahu, tapi tak kuhiraukan. Sesampainya di rumah, wanita itu turun lebih dulu. Aku masih duduk di mobil bersama Ayah.

“Yang baik, ya, sikapnya,” ucap Ayah tiba-tiba.

“Kasihan loh tadi dia sampai nangis.”

Kata-kata itu menusuk dadaku. Kasihan? Ayah lebih kasihan padanya? Lalu bagaimana denganku? Apa Ayah pernah berpikir bagaimana perasaanku selama ini? Aku tak menjawab. Tatapanku kosong ke depan, sementara Ayah keluar dari mobil. Tapi apa yang kulihat setelahnya membuat darahku mendidih wanita itu masuk ke rumah Ayah sambil membawa sepatu yang belum dilepas. Dia siapa? Kenapa dia bisa masuk ke rumah ini seolah-olah dia pemiliknya?

Emosiku memuncak. Aku membuka pintu mobil, melempar tasku ke tanah, dan berlari ke rumah nenek yang ada di belakang rumah Ayah. Tapi saat tiba di sana, rumah nenek kosong. Aku bingung dan panik. Lututku lemas. Tak ada tempat lain untuk pergi, aku kembali ke rumah Ayah. Dengan hati yang masih penuh amarah, aku merapikan barang-barangku sambil menahan tangis. Ayah masuk ke kamar, menatapku dengan tatapan lelah tapi tetap lembut.

“Ayah nemuin obat buat Ayah, Ca,” katanya pelan.

Aku menoleh tajam. “Obat? Apa maksud Ayah?”

“Obat buat hati Ayah. Selama ini Ayah ngerasa kosong. Ayah butuh seseorang buat nemenin Ayah…!”

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Tapi semua terasa asing di telingaku. Kata ‘obat’ itu justru terdengar seperti racun bagiku. Ayah terus membujukku. “Salim sama dia, ya? Cobalah pelan-pelan.” Aku menggeleng. Aku tak mau. Tapi entah kenapa, setelah sekian lama menolak, tanganku akhirnya terulur. Saat aku masuk ke kamar tempat wanita itu berada, aku melihatnya sedang duduk di sudut dengan mukena yang masih membalut tubuhnya. Wajahnya basah oleh air mata. Dia menatapku dengan mata yang sendu.

“Maaf, ya…” katanya terbata.

“Nggak apa-apa kalau kamu belum bisa nerima aku sekarang. Aku ngerti.”

Tangisku kembali pecah. Ada luka yang belum bisa kusembuhkan. bagaimana bisa ayah menikah tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari aku. Malam itu, aku berbaring di kasur yang dulu terasa hangat tapi kini terasa asing. Aku menatap langit-langit sambil berpikir.

Obat bagi Ayah memang masih terasa seperti racun bagiku. Tapi mungkin, sama seperti luka yang butuh waktu untuk sembuh, hatiku juga akan butuh waktu untuk berdamai. Aku tak tahu kapan itu akan terjadi.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Tangannya kesemutan diikat dibelakang, kakinya tertekuk dengan darah…

Cerpen

Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga “Kayaknya bapak…

Cerpen

Oleh: Anak Pagi Siang hari di tengah ketangguhan…

Cerpen

Di sebuah desa kecil, terdapat hutan yang terkenal…