Ribuan anak dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Insiden terbaru di Kabupaten Bandung Barat dengan laporan 911 siswa terdampak dalam dua gelombang, sebagian mengalami mual, pusing, sesak napas, bahkan kejang.
Pemerintah pusat juga mencatat puluhan kasus serupa sepanjang tahun ini. Investigasi media menemukan sedikitnya 23 kejadian keracunan MBG antara 6 Januari hingga 31 Agustus 2025, yang menunjukkan pola berulang dan bukan kejadian di satu tempat saja.
Respon pemerintah meningkat setelah gelombang terbaru ini. Menko Pangan Zulkifli Hasan memimpin rapat penanggulangan dan menegaskan bahwa kasus ini “bukan sekadar angka,” melainkan menyangkut keselamatan generasi penerus bangsa. Pernyataan yang kemudian menjadi titik referensi bagi kebijakan cepat, yaitu penutupan sementara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bermasalah, kewajiban Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) bagi penyelenggara, serta pelibatan Puskesmas dan dinas terkait dalam pengawasan lapangan.
Di sisi lain, Zulhas juga menyatakan kemungkinan faktor ‘ketidakbiasaan’ anak terhadap menu baru sebagai salah satu penyebab keracunan makanan. “Bukan berarti salah masak kan? Karena memang kitanya belum terbiasa ya,” ujar Zulhas saat meninjau SPPG.
Reaksi ini diikuti instruksi dari level yang lebih tinggi, Presiden memerintahkan penanganan cepat dan Menkopolhukam bersama Mendagri memfasilitasi rapat koordinasi nasional untuk menyamakan langkah antardaerah. Bukti bahwa kasus ini sudah menjadi masalah kebijakan nasional yang membutuhkan sinkronisasi pusat-daerah.
Sebagai opini, fakta-fakta ini menuntut evaluasi sekaligus tindakan nyata. Pertama, data lapangan sangat diperlukan. Jumlah korban per daerah, hasil uji laboratorium makanan, temuan bakteri atau kontaminan, dan catatan SPPG yang terlibat harus dipublikasikan secara terbuka agar masyarakat dapat memahami skala dan akar masalahnya. Kedua, kebijakan administratif seperti SLHS atau penutupan dapur memang perlu, tetapi tidak cukup. Sertifikat tanpa inspeksi berkala dan kapasitas pelaksanaan di lapangan hanya akan menjadi selembar kertas. Ketiga, program pelatihan intensif bagi tenaga pengolah pangan, standar menu yang mempertimbangkan adaptasi lokal dan alergi, serta penguatan infrastruktur (air bersih, sanitasi dapur, rantai distribusi) adalah langkah yang harus dipercepat.
Dalam posisi rangkap sebagai Menko Pangan sekaligus Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan memegang tanggung jawab ganda, yaitu memastikan respons teknis yang kredibel dan menjaga kepercayaan publik. Kata-kata tegas diperlukan, tetapi lebih penting lagi adalah bukti transformasi di lapangan. Audit independen, publikasi hasil laboratorium, dan sanksi tegas bila ditemukan kelalaian yang membahayakan anak. Jika tidak, pernyataan bahwa “keselamatan anak adalah prioritas utama” akan terdengar hampa di telinga para orang tua yang kini menunggu kepastian.
Akhirnya, ketika negara menjanjikan gizi lewat program MBG, janji itu haruslah aman, dapat dipertanggungjawabkan, dan konsisten. Anak-anak yang sakit bukan hanya statistik. Mereka adalah ukuran nyata keberhasilan tata kelola pangan publik. Pemerintah, dan khususnya Menko Pangan Zulkifli Hasan, saat ini diuji bukan hanya oleh lensa politik, tetapi oleh keselamatan anak-anak yang menjadi tanggung jawab kolektif negara.
Oleh: Ahmad Wildan