Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Esai

Bagaimana Iklim Sejuk UIN Salatiga Menentukan Tempo Adaptasi Kultural Kami

×

Bagaimana Iklim Sejuk UIN Salatiga Menentukan Tempo Adaptasi Kultural Kami

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Fahriza Riswan Nasrulloh, Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Salatiga

Ketika nama Salatiga disebut, citra pertama yang terlintas adalah sejuk. Bukan sekadar dingin, tetapi sejuk yang menusuk—lahir dari pelukan kaki Gunung Merbabu dan Merapi. Bagi kami, mahasiswa perantau di UIN Salatiga, iklim ini bukan hanya angka pada termometer. Ia adalah narator tak terlihat yang mendikte detail kehidupan dan, yang lebih penting, menentukan tempo adaptasi kultural kami di kampus dan kota ini.

Example 300x600

Kami datang dari berbagai penjuru—dari panasnya pesisir Kalimantan hingga hiruk pikik Jakarta. Kami membawa ransel berisi pakaian dan koper berisi harapan. Namun kami tidak siap dengan satu hal: kecepatan hidup yang melambat. Dan ritme hidup itu, pada akhirnya, sangat ditentukan oleh suhu.

Pada awal kedatangan, tak jarang terjadi culture shock ganda. Pertama, shock terhadap budaya Jawa Tengah yang andhap asor (sopan santun) dengan logat medok yang khas. Kedua, shock terhadap hawa dingin yang memaksa kami membeli jaket tebal dan selimut ekstra. Kontras antara daerah asal dan Salatiga menciptakan proses adaptasi yang unik. Jika di kota besar adaptasi dituntut cepat dan agresif, di Salatiga iklim sejuk justru mendorong kami untuk menarik rem sejenak.

Sejuknya udara membuat kami lebih sering berdiam di kos, menunda interaksi sosial yang terlalu energik, dan memilih berdiskusi sambil menikmati kopi panas di warung kecil. Di sinilah muncul ritme adaptasi Adagio—tempo yang melambat. Interaksi kultural seperti tawar-menawar di pasar atau memahami bahasa Jawa halus di lingkungan kampus tidak terjadi secara eksplosif, tetapi perlahan, bertahap, dan personal. Kami butuh waktu lebih lama untuk membuka diri—seolah hawa dingin ikut membungkus kepribadian kami.

UIN Salatiga dikenal sebagai kampus yang menjunjung tinggi moderasi beragama dan toleransi. Uniknya, iklim sejuk kota ini menjadi pendukung alami bagi nilai-nilai tersebut. Saat hawa dingin datang, aktivitas paling nyaman dilakukan adalah introspeksi dan refleksi. Suasana tenang di pagi dan malam hari mendorong kami untuk membaca, menulis, atau berdiskusi mendalam di asrama.

Ketenangan lingkungan menjauhkan kami dari hiruk pikuk dan polarisasi. Lingkungan yang adem secara fisik selaras dengan suasana akademis yang adem secara mental dan spiritual. Mahasiswa perantau dengan latar belakang agama, budaya, dan mazhab yang beragam merasa aman untuk berdialog, bukan berdebat. Kami belajar bahwa toleransi lahir dari kesunyian, bukan keributan.

Kini, setelah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hidup di bawah naungan Merbabu, kami mulai terbiasa. Jaket tebal sudah menjadi seragam, kopi panas menjadi ritual wajib, dan kosakata Jawa mulai kami serap perlahan. Iklim sejuk UIN Salatiga pada akhirnya bukan hanya mengubah suhu kulit kami, tetapi juga mengubah ritme jiwa kami.

Ia memaksa kami beradaptasi dengan kecepatan yang bijak—memberikan ruang bagi hati untuk pulih dari homesick dan bagi pikiran untuk mencerna perbedaan budaya. Jejak mahasiswa perantau di UIN Salatiga ditorehkan perlahan, selembar demi selembar, seperti kabut yang turun menyelimuti kota.

Kami datang sebagai pendatang, lalu tumbuh menjadi bagian dari kota yang mengajari kami satu hal penting:
Adaptasi kultural terbaik adalah adaptasi yang tenang, sejuk, dan penuh kesabaran.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *