Oleh: Adzin Aris Aniq Adani, Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta.
Sekitar seratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1930, sebuah revolusi besar terjadi di India. Gerakan ini bukan sekadar revolusi, lebih dari itu, sebuah bukti bahwa perlawanan tak mesti harus dengan cara kekerasan. Gerakan ini (Salt March) dipimpin oleh seorang mahatma, revolusioner, dan bapak bangsa India, Mohandas Karamchand Gandhi, yang saat ini populer dengan sebutan Mahatma Gandhi (1869 – 1948).
Ia bersama dengan 80 pengikutnya berjalan kaki lebih dari 240 mil untuk memprotes pajak garam yang diberlakukan oleh pemerintah Kolonial Inggris yang pada saat itu menguasai India. Ketika tentara India, yang pada saat itu tunduk pada pemerintah Inggris, diperintahkan untuk menghalau massa dengan memukulinya dengan tongkat, Gandhi dan pengikutnya tidak sedikit pun membalas pukulan itu. Ya, mereka hanya diam sembari terus berjalan menuju gudang penyimpanan garam.
Bagi Gandhi, cara merupakan hasil. Hal inilah yang menjadi sebab kenapa banyak revolusi yang dilakukan dengan cara kekerasan hampir selalu gagal—setidaknya tidak benar-benar sampai pada ideal yang diimpikan. Sehingga, baginya, cara lebih penting dari hasil.
“Kemenangan dengan kekerasan adalah kemenangan semu; kemenangan semacam ini hanya menunda bab berdarah baru.” Pesan Gandhi kepada kita semua. Ia tak pernah menganggap perlawanan tanpa kekerasan adalah taktik, baginya pendekatan semacam ini adalah prinsip dan hukum pasti yang harus dipatuhi, sebagaimana hukum gravitasi.
Kapan pun dan di mana pun, perdamaian harus menjadi prinsip fundamental dari sebuah gerakan perlawanan. Gandhi begitu membenci penyelesaian suatu masalah dengan cara kekerasan. Bahkan, ia lebih memilih India diperintah oleh kolonial Inggris untuk selamanya daripada sebuah kemerdekaan yang berdarah-darah.
Namun, ada yang lebih Gandhi benci dari tindak kekerasan, yakni sifat pengecut: memilih diam atas penindasan dan ketidakadilan. Pada tahun 1948, tepatnya pada 13 Januari, Gandhi memulai puasa terakhirnya. Gandhi menyatakan bahwa ia lebih baik mati daripada melihat India hancur akibat perpecahan antaragama. Ia bermimpi agar semua umat beragama di India, termasuk Hindu, Sikh, Parsi, Kristen, dan Muslim, dapat hidup rukun.
Ternyata, cinta dan kasih yang Gandhi ajarkan tak selamanya diterima oleh masyarakat India. Ada beberapa kaum ekstremis Hindu yang menolak seruan toleransi dan perdamaian dari Gandhi. Hingga pada tanggal 20 Januari, percobaan pembunuhan terhadap Gandhi dilakukan. Namun, gagal. Teror terus berlangsung hingga puncaknya terjadi pada tanggal 30 Januari 1948.
Seorang pria fanatik yang berumur kisaran tiga puluhan bernama Nathuram Godse, sekitar pukul 17.00 berhasil mengakhiri hidup seorang revolusioner dan bapak bangsa: Gandhi, ketika hendak menuju pertemuan do’a di sebuah taman. Dengan jarak yang dekat, Nathuram Godse menembaknya tiga kali di jarak yang begitu dekat.
Gandhi memang telah meninggalkan semua orang pada saat itu. Namun, model perlawanannya: melawan tanpa kekerasan, abadi. Banyak dari gerakan perlawanan pada masa setelahnya yang terinspirasi oleh model perlawanan ala Gandhi yang unik ini. Seperti Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr. dan Gerakan Anti-Apartheid di Afrika Selatan yang diinisiasi oleh Nelson Mandela.
Dalam konteks keindonesiaan hari ini, ketika perlawanan terhadap pemerintah terlihat lebih seperti gerakan vandalisme dan anarkisme, nampaknya bangsa ini butuh cara baru untuk memaknai sebuah perlawanan. Hampir setiap aksi demonstrasi yang terjadi belakangan ini selalu diwarnai dengan pembakaran fasilitas umum dan gedung dinas pemerintahan, konfrontasi antara demonstran dengan aparat kepolisian, hingga kematian yang tak terhindarkan.
Alih-alih mendapatkan apa yang diinginkan, antara demonstran dan aparat hanya menuai satu hasil: konflik yang semakin menjadi-jadi. Benar apa yang dikatakan Gandhi, “kau akan menuai, persis seperti cara engkau menanam. Jika caramu salah, maka yang akan kau dapat hanya penyesalan.”
Oleh karena itu, nampaknya model perlawanan yang unik dari Gandhi bisa menjadi alternatif baru bagi gerakan-gerakan perlawanan berikutnya. Bahwa perlawanan tidak meniscayakan kekerasan. Kita diam, tidak melawan, bukan berarti kita pengecut. Tapi ingat kata Gandhi, cara merupakan hasil.