PikiranBangsa.co – Seseorang yang tinggal di Indonesia tentunya sudah akrab dengan istilah “ngaret.” Istilah ini seolah-olah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari hari kita karena mungkin kita juga sering menjadi pelakunya. Budaya “ngaret” atau lebih jelasnya kebisaan terlambat adalah sebuah fenomena sosial yang cukup mengakar di masyarakat Indonesia. Istilah “ngaret” berasal dari kata dasar “karet” yang memiliki sifat lentur atau melar. Maka dari itu, istilah ini kemudian digunakan oleh kalangan anak muda untuk menyebut orang-orang yang kerap datang terlambat atau tidak menepati waktu yang telah disepakati. Dalam konteks ini, teori yang relevan untuk menganalisa budaya “ngaret” adalah teori Komunikasi Interpersonal, yang mengutamakan pentingnya hubungan timbal balik dan saling menghargai antar individu, termasuk dalam pentingnya menghargai waktu sebagai bentuk penghargaan terhadap orang lain.
Hal ini menggambarkan sebuah perilaku yang tidak menghargai waktu yang seringkali dianggap lumrah atau wajar dalam dalam berbagai kegiatan, mulai dari kegiatan informal maupun formal. Sayangnya, budaya ini akan membawa dampak negatif terhadap efisiensi kerja, produktivitas dan disiplin sosial.
Secara individual “ngaret” mencerminkan kurangnya tanggung jawab seseorang terhadap waktu yang telah disepakati. Dalam peribahasa juga dikatakan bahwa “Waktu adalah Uang” hal ini mengajarkan bahwa menghargai waktu merupakan hal yang sangat penting dalam membangun masyarakat yang efisien. Waktu merupakan sumber daya yang tidak dapat diulang kembali.
Ketika seseorang ngaret atau terlambat, ia akan menghambat kelancaran kegiatan dan juga membuang waktu orang lain. Misalnya, keterlambatan dalam konteks pekerjaan akan memengaruhi hasil rapat karena kurangnya waktu yang sudah terbuang dan merugikan orang lain karena harus menunggu lama. Adapun faktor lain yang memperkuat budaya “ngaret” yaitu adanya toleransi terhadap kebiasaan tersebut. Adanya sikap toleransi tersebut secara perlahan menjadikan “ngaret” sebagai kebiasaan yang dianggap normal, bahkan membudaya di tengah masyarakat Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu tidak penting, dan akhirnya menghambat terciptanya budaya disiplin yang lebih baik. Sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung datang terlambat sekitar 15 hingga 30 menit dari waktu yang sudah ditentukan. Ketidakmampuan dalam menghargai waktu dapat memberikan kesan bahwa tidak serius dalam menjalankan tanggung jawab. Hal ini dikarenakan hal sederhana yang telah disepakati tidak dilakukan.
Kebiasaan “ngaret” seringkali dianggap sepele, padahal dapat memengaruhi banyak aspek. Dalam bidang pendidikan contohnya, keterlambatan dosen maupun mahasiswa dalam memulai pelajaran dapat mengurangi efektivitas pembelajaran dan dapat menciptakan pola pikir bahwa waktu tidak perlu terlalu dihargai. Jika perilaku tersebut terus dilakukan, dan keterlambatan yang awalnya dianggap sepele dapat berkambang menjadi budaya yang mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Lalu, bagaimana cara mengatasi kebiasaan “ngaret” yang sudah begitu melekat ini? Sebenarnya, hal ini bisa diubah dengan menumbuhkan kesadaran setiap individu. Kesadaran tentang menghargai waktu merupakan bentuk menghargai orang lain. Pendidikan sejak dini juga memiliki peran penting dalam menerapkan pentingnya disiplin dalam hal apapun. Selain itu, dalam suatu lembaga maupun organisasi bisa menerapkan aturan yang tegas tentang keterlambatan, seperti, memberikan sanksi kepada individu yang datang terlambat agar mereka tidak mengulanginya lagi dan dapat dipastikan bahwa acara selajutnya bisa dimulai tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Contoh nyata bisa kita lihat lewat media sosial bahwa pemerintah dan juga masyarakat Jepang menciptakan budaya disiplin yang kuat, menjadikan Jepang terkenal sebagai negara yang sangat menghargai waktu. Indonesia bisa meniru budaya tersebut dengan memulainya dari para pemimpin hingga tokoh masyarakat. mereka perlu memberikan teladan yang baik bagi masyarakat luas.
Memberikan apresiasi kepada seseorang yang datang tepat waktu juga merupakan cara untuk menghilangkan budaya ngaret yang mengakar ini. Hal ini akan menumbuhkan rasa bangga dan kepuasan bagi mereka yang disiplin waktu. Kita sebagai generasi muda tidak boleh terus-menerus mempertahankan kebiasaan yang merugikan ini. Budaya “ngaret” harus segera ditinggalkan demi menciptakan masyarakat yang lebih disiplin dan efisien. Waktu, seperti halnya kepercayaan, yaitu sesuatu yang sangat berharga. Dengan menghargai waktu, kita juga sedang membangun masa depan yang lebih baik.
Kesimpulannya, budaya “ngaret” bukanlah soal kebiasaan datang terlambat saja, akan tetapi hal ini juga menunjukkan pola pikir yang harus diubah. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya menghargai waktu. Dengan langkah tersebut masyarakat Indonesia akan tumbuh pemahaman bahwa disiplin waktu merupakan kunci utama dalam mencapai tujuan dengan lebih efektif dan efisien.
Oleh: Siti Qoni’ah , Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam