Oleh: Fenantya Aulia Salsabila, Mahasiswi Prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
Fenomena Buy Now Pay Later (BNPL) atau “beli sekarang, bayar nanti” kini begitu dekat dengan kehidupan mahasiswa. Di tengah tekanan ekonomi, gaya hidup serba cepat, dan tuntutan kebutuhan yang terus bertambah, layanan ini seolah hadir sebagai jalan keluar praktis. Dengan BNPL, mahasiswa bisa membeli barang atau jasa tanpa harus membayar penuh di awal. Sekilas, ini tampak seperti solusi cerdas dengan memberi ruang bernapas di tengah keterbatasan finansial. Namun di balik kemudahannya, tersimpan potensi masalah yang tak bisa diabaikan.
Di kota-kota besar seperti Surabaya dan Semarang, layanan BNPL sudah menjadi bagian dari rutinitas digital mahasiswa. Notifikasi Shopee PayLater yang muncul berulang kali, promosi “bayar nanti tanpa bunga”, hingga potongan harga eksklusif membuat banyak orang tergoda untuk mencoba. Awalnya mungkin hanya membeli satu barang kecil, tetapi lambat laun kebiasaan itu berkembang menjadi konsumsi impulsif yang berarti membeli bukan karena perlu, melainkan karena ingin.
Lebih dari itu, ada kasus mahasiswa yang bahkan menggunakan pinjaman daring untuk membayar UKT. Hal ini menggambarkan betapa tipisnya batas antara kebutuhan mendesak dan keinginan sesaat, terutama ketika teknologi memudahkan akses terhadap pinjaman instan.
Ironisnya, sistem yang awalnya dimaksudkan untuk membantu justru bisa menjadi jerat. Mahasiswa yang semula hanya ingin meringankan beban, akhirnya dihadapkan pada tagihan bulanan, bunga, dan tekanan psikologis akibat gagal bayar. Tak sedikit yang kemudian merasakan stres, rasa bersalah, bahkan gangguan mental akibat beban finansial yang tak disadari sejak awal.
Masalah BNPL di kalangan mahasiswa sejatinya bukan sekadar persoalan teknologi pembayaran, tetapi cerminan dari ekosistem sosial ekonomi yang belum siap. Ada beberapa faktor yang memengaruhi. Pertama, literasi keuangan mahasiswa masih tergolong rendah. Banyak yang belum memahami bagaimana bunga, denda, dan risiko jangka panjang dari utang konsumtif bekerja.
Kedua, media sosial dan platform belanja daring memperkuat budaya konsumtif melalui iklan persuasif yang menggoda, seolah semua barang adalah kebutuhan mendesak. Ketiga, beban ekonomi mahasiswa, mulai dari biaya hidup hingga UKT yang tinggi membuat mereka rentan mengambil keputusan finansial yang tidak rasional.
Pada akhirnya, BNPL menjadi cermin dilema mahasiswa, di satu sisi ingin mandiri dan memenuhi kebutuhan, di sisi lain justru terjebak dalam lingkaran utang. Maka, pertanyaannya adalah, bagaimana agar BNPL benar-benar menjadi solusi, bukan sumber masalah baru?
Pertama, peran kampus perlu lebih nyata dalam edukasi literasi keuangan. Pendidikan finansial seharusnya tidak berhenti di seminar satu kali, tetapi menjadi bagian dari kurikulum atau kegiatan kemahasiswaan. Mahasiswa perlu dibiasakan mengelola uang secara nyata, membuat anggaran, menabung, hingga memahami konsekuensi dari setiap keputusan finansial.
Kedua, pemerintah dan otoritas keuangan perlu memperketat pengawasan terhadap iklan BNPL yang menyasar kelompok rentan, termasuk pelajar dan mahasiswa. Normalisasi gaya hidup konsumtif melalui iklan online perlu dikontrol agar tidak menjerumuskan generasi muda ke budaya utang.
Ketiga, mahasiswa sendiri harus belajar menata gaya hidup dengan lebih realistis. Hidup sederhana bukan berarti ketinggalan zaman, tetapi bentuk adaptasi terhadap kemampuan diri. Sebelum membeli sesuatu, sebaiknya tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya benar-benar butuh ini, atau hanya ingin?”
Keempat, alternatif pendanaan yang lebih sehat perlu diperbanyak, seperti program beasiswa, keringanan UKT, tabungan pendidikan, atau skema cicilan resmi dari kampus. Dengan begitu, mahasiswa tidak perlu bergantung pada pinjaman konsumtif yang berisiko tinggi.
Pada dasarnya, BNPL hanyalah alat. Ia bisa menjadi sahabat yang membantu ketika digunakan dengan bijak, tapi bisa pula berubah menjadi jeratan berbahaya jika digunakan tanpa perencanaan. Solusi dari persoalan finansial mahasiswa bukanlah menambah pinjaman, melainkan belajar mengelola uang, mengendalikan diri, dan menjadi konsumen yang bertanggung jawab.
Masa depan mahasiswa tidak ditentukan oleh seberapa banyak barang yang bisa mereka beli hari ini, melainkan oleh seberapa bijak mereka mengelola sumber daya finansial yang dimiliki. BNPL bisa menjadi peluang, tapi hanya jika diperlakukan dengan kesadaran dan tanggung jawab. Karena pada akhirnya, kemandirian finansial bukan soal bebas berutang, melainkan mampu hidup tenang tanpa dibayangi tagihan.


















