Oleh: Lainy Ahsin Ningsih, M.H., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo Mlagen Pamotan Rembang, Wasekum Bidang Penelitian dan Pengembangan PW GPII Jawa Tengah.
Pendidikan selalu diagungkan sebagai jalan memperluas wawasan dan tanda seseorang telah mengalami kemajuan, akan tetapi, pendidikan juga bisa menjadi media dalam melanggengkan budaya patriarki tanpa disadari. Anak-anak telah dikenalkan dengan norma-norma gender yang membatasi peran mereka di masyarakat melalui kurikulum, merode pengajaran, contoh soal, maupun kebijakan sekolah. Selain berdampak pada pengalaman, budaya ini juga akan membentuk bagaimana cara mereka berkontribusi dalam kehidupan sosial dan profesional di masa mendatang. Patriarki dalam pendidikan tentu bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, budaya ini telah diwariskan selama bertahun-tahun. Pendidikan bahkan dulu awalnya dirancang untuk kepentingan laki-laki sebelum akhirnya perempuan juga diperbolehkan untuk mengaksesnya.
Contoh sederhana yang dapat dijumpai adalah cerita pendek maupun kutipan soal-soal yang mengandung budaya patriarki. Contohnya adalah kalimat, ibu sedang memasak di dapur, sedangkan ayah memanaskan motor di teras. Atau dalam kalimat, ibu mengurus adik di rumah dan ayah bekerja di kantor. Adanya kalimat yang sejenis dengan dua kalimat tersebut yang diajarkan di dalam kelas menjadikan anak secara tidak langsung memasukkan dalam ingatannya bahwa, memasak, mengurus rumah, menjaga anak-anak, dan menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga adalah tugas ibu. Ayah tidak harus memasak, membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan seperti mencuci baju, mengepel, dan lain-lain. Kalimat-kalimat tersebut dapat dibuat lebih baik lagi seperti, ibu memasak di dapur sedangkan ayah membantu mengganti popok adik. Dengan begitu, praktik patriarki yang sudah terlanjir ada bisa mulai diminimalisir.
Materi ajar lain yang juga tanpa disadari membentuk patriarki adalah para ilmuan, pemimpin, juga penemu besar yang ditampilan dalam sosok laki-laki sedangkan perempuan lebih sering dijadikan sekadar pendamping atau mengurus urusan domestik. Jarang sekali pemimpin atau penemu perempuan yang dimasukkan ke dalam materi pembelajaran fan justru banyak materi-materi yang membahas tentang perempaun yang tertindas, tidak bisa melawan, dan harus patuh.
Tidak hanya dalam materi pembelajaran, beberapa keputusan di dalam kelas juga perlu diperbaiki. Misalnya, selalu memilih ketua kelas laki-laki dan menjadikan anak perempuan sebagai sekretaris atau bendahara. Adanya praktik ini menjadikan anak laki-laki merasa lebih superior dan unggul dibandingkan teman perempuannya, padahal bisa saja teman perempuannya justru memiliki kualitas yang lebih baik.
Pola yang terbentuk dari sekolah tidak hanya berhenti di dalam ruang kelas, tetapi juga terbawa hingga kehidupan sehari-hari atau bermasyarakat. Dari pola-pola yang terbentuk di dalam ruang kelas tadi kemudian terbawa dan memengaruhi pemahaman anak ketika memasuki dunia kerja. Dari sini dapat dipahami mengapa perempuan memiliki hambatan dalam meniti karir di bidang sains, teknik, dll juga laki-laki yang mendominasi sebagai pemimpin di berbagai sektor. Adanya pola ini juga menjadikan laki-laki memiliki keharusan untuk selalu lebih dominan, lebih kuat, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Padahal, bisa saja mereka tidak nyaman untuk berada di posisi tersebut. Dapat disimpulkan bahwa, pendidikan yang tidak mampu membongkar budaya patriarki justru akan memperkut ketimpangan gender di masyarakat dan menciptakan siklus yang sulit diputus.
Sebagai upaya mengatasi langgengnya budaya patriarki, diperlukan adanya perubahan kurikulum serta materi ajar yang lebih inklusif dan tidak bias gender. Selain sebagai tokoh pendukung atau selalu identik dengan rana domestik, perempuan harus direpresentasikan juga sebagai pemimpin dan inovator. Guru juga harus lebih bijak dan memahami bagaimana interaksi yang terbangun antara dirinya dengan anak-anak selama di ruang kelas dan sekolah akan membentuk pola pikir mengenai patriarki. Guru juga harus memastikan bahwa setiap anak diberikan kesempatan yang sama untuk terus berkembang. Selain guru, sekolah juga harus memiliki aturan dan mekanisme yang jelas mengenai ketidakadilan gender dan kasus pelecehan.
Apabila ingin menciptakan masyarakat yang adil, maka pendidikan harus menjadi alat perubahan dan mulai mengikis budaya patriarki. Dengan adanya reformasi kurikulum, perubahan materi ajar, dan kebijakan yang inklusif dapat menjadi sarana membangun generasi yang berdaya, kritis, juga setara. Jika ingin menemukan perubahan dalam masyarakat, maka perubahan itu harus di mulai dari ruang kelas.