Oleh: Ahmad Sekar assalam, Kader HMI Komisariat Ki Hadjar Dewantara Cabang Pekalongan
Sepuluh Oktober, yang kini dikenang sebagai hari kesaktian pancasila, adalah hari yang berbeda 60 tahun yang lalu. Hari itu ialah momen penantian kabar. Hari ketika 6 jenderal dan 1 perwira muda ditunggu bagaimana nasibnya sesungguhnya. Kemudian, kabar menyedihkan datang. Mati dan dikubur di sumur tua menjadi akhir hidup mereka.
Walaupun nama mereka menjadi legenda, dikenang dengan gelar yang sejarah sebut sebagai pahlawan revolusi, peristiwa G30S PKI tersebut digemakan segera menjadi rasa takut yang menelan sebagian hati rakyat. Meracuni menjadi kebencian yang lantas jadi pembenaran atas pembantaian yang lebih brutal lagi. G 30 S PKI yang gagal itu lalu menjadi pintu menuju rezim yang juga kemudian menjelma menjadi diktator. PKI lalu jadi nama bagi mereka yang bertentangan dengan pemerintah.
Keraguan untuk berdemokrasi
Peristiwa G30S PKI beserta tragedi pembantaian yang mengikutinya sangatlah pantas untuk terus diingat, namun bukan sebagai propaganda kekuasaan seperti sebelumnya, melainkan jadi peristiwa yang kita pelajari akar sebabnya agar tidak terulang kembali.
Apabila dilihat dari sudut pandang geopolitik, apa yang terjadi masa tersebut tidak dapat dilepas dari pengaruh perang dingin. Namun, itu tidak berarti bahwa tidak ada kondisi dalam negeri yang memengaruhi. Kondisi alamiah bangsa Indonesia adalah kemajemukan, termasuk kemajemukan ide.
Bangsa ini didirikan oleh pemikir-pemikir dari semua spektrum pemikiran sosial politik. Oleh karenanya, di awal, tatanan politik bangsa ini adalah demokrasi. Para pendiri bangsa ingin agar segala ideologi dapat difasilitasi. Namun, ada keraguan dikemudian hari, antara hendak secara sungguh-sungguh berdemokrasi ataukah hanya ingin mencari cara baru untuk meneruskan budaya politik yang telah ada.
Dekrit presiden 1959 lantas menghakimi bahwa demokrasi yang dijalankan saat itu tidak sesuai kepribadian bangsa. Pertarungan politik ide disebut membuang waktu dan tidak sesuai dengan nilai gotong royong. Persaingan politik lalu beralih menuju ruang-ruang gelap. Persaingan politik yang sebelumnya diisi pertarungan gagasan berubah menjadi pertarungan tipu daya. Ia hanya jadi pertarungan elit yang saling mengatasnamakan rakyat. Pada akhrinya, peristiwa G30S itu adalah residu dari konflik politik yang tidak sehat tersebut.
Membangun Budaya Politik Baru yang Intelek
Sudah saatnya budaya politik yang baru dibangun. Debat intelektual harus menjadi habit dari politik. Debat perlu ditekankan bahwa ia bukanlah produk barat. Ia adalah konsekuensi yang harus kita jalani dalam bermusyawarah karena mufakat yang terbaik lahir dari argumentasi yang paling solid.Disinilah peran mahasiswa menjadi penting. Mahasiswa punya priviliase. Mereka memiliki daya kritis, literasi, dan metode ilmiah yang sebagian rakyat tidak punya. Mereka seharusnya menjadi influencer budaya politik baru yang hendak dibangun ini.
Sudah saatnya untuk mengembalikan pertarungan politik ke gelanggang universitas. Universitas sudah seharusnya menjadi arena untuk menguji kepantasan pemimpin. Sehingga kedepan kepemimpinan kita dapat diisi oleh pikiran-pikiran yang bermutu.