Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
EsaiKolom

Guru Investasi, Bukan Beban: Menjawab Retorika Keliru Menteri Keuangan

×

Guru Investasi, Bukan Beban: Menjawab Retorika Keliru Menteri Keuangan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Sipa Nuraeni, Pemerhati Pendidikan dan Sastra

Bayangkan sejenak: tanpa guru, siapa yang akan membimbing anak-anak bangsa membaca huruf pertama mereka, menghitung angka sederhana, hingga merumuskan gagasan besar yang mengubah sejarah? Guru adalah fondasi. Mereka bukan sekadar profesi, melainkan pilar utama yang menyangga pembangunan bangsa.

Example 300x600

Namun ironisnya, publik sempat dihebohkan oleh potongan video yang menarasikan bahwa Menteri Keuangan menyebut guru sebagai “beban negara.” Meski kemudian terbukti sebagai manipulasi digital alias deepfake dan langsung dibantah Kemenkeu (Detik Finance, 19 Agustus 2025), retorika semacam itu meninggalkan luka simbolis. Pasalnya, kata “beban” seolah mereduksi pengabdian guru menjadi hitungan anggaran semata.

Padahal, dalam filsafat pembangunan, pendidikan selalu diletakkan sebagai instrumen utama kemajuan. Seorang ekonom klasik, Adam Smith, bahkan menegaskan bahwa kualitas tenaga kerja adalah modal sejati suatu bangsa. Guru, dengan demikian, bukanlah pengeluaran, melainkan investasi yang melipatgandakan hasil dalam jangka panjang.

Kata-kata punya kuasa. Retorika yang keliru dari pejabat negara bisa memengaruhi persepsi publik, bahkan kebijakan. Karena itu, penting untuk mengingatkan bahwa komunikasi pejabat tidak boleh sembrono. Sebuah ungkapan dapat menjadi suluh yang mencerahkan, atau sebaliknya, bara yang membakar.

Guru honorer, misalnya, banyak yang digaji jauh di bawah standar hidup layak. Ada yang menerima hanya Rp300 ribu–Rp500 ribu per bulan, jumlah yang bahkan tak cukup untuk biaya transportasi dan kebutuhan pokok. Ketika narasi yang beredar menyebut mereka “beban”, itu bukan sekadar miskomunikasi—tetapi pukulan batin bagi mereka yang rela mengajar dengan dedikasi, meski kerap menambal hidup dengan pekerjaan sampingan.

PGRI pun merespons keras isu tersebut. Ketua Umum PGRI menegaskan bahwa bila ada pihak yang pantas disebut “beban negara”, tentu bukan guru, melainkan koruptor yang merampok anggaran dan merusak sistem pendidikan dari hulu ke hilir (Radar Nganjuk, 19 Agustus 2025). Kritik ini jelas menunjukkan bahwa retorika keliru harus diluruskan bukan hanya dengan klarifikasi, tetapi dengan kebijakan nyata yang berpihak.

Kebijakan afirmatif untuk guru seharusnya mencakup:

  • Standarisasi gaji yang setara dengan pengabdian mereka.
  • Kepastian status kepegawaian, terutama bagi guru honorer.
  • Pelatihan berkelanjutan agar guru mampu mengikuti dinamika zaman.
  • Jaminan sosial yang memadai, sehingga guru tidak hidup dalam kerentanan.

Dengan begitu, koreksi terhadap retorika tidak berhenti pada kata, melainkan diwujudkan dalam kebijakan yang nyata.

Secara fundamental, pendidikan adalah investasi modal manusia (human capital investment). Studi Bank Dunia menunjukkan bahwa setiap tambahan rata-rata satu tahun pendidikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 0,37 persen per tahun. Di sinilah letak urgensi: setiap rupiah yang dialokasikan untuk kesejahteraan guru akan berbuah pada kualitas SDM yang kompetitif.

Data Kementerian Keuangan sendiri menunjukkan bahwa anggaran pendidikan 2025 mencapai Rp724,3 triliun, atau 20% dari belanja negara, dengan porsi Rp178,7 triliun untuk gaji dan tunjangan guru serta dosen (Bisnis.com, 19 Agustus 2025). Angka ini bukanlah biaya sia-sia, melainkan benih untuk masa depan Indonesia.

Lebih dari sekadar hitung-hitungan ekonomi, guru adalah pengukir peradaban. Dalam Islam, guru dipandang sebagai pewaris misi kenabian. Imam Al-Ghazali bahkan menempatkan guru pada posisi mulia, karena perannya membimbing manusia menuju kebenaran dan akhlak luhur. Artinya, investasi pada guru tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga membangun bangsa yang beradab.

Jika Indonesia bercita-cita menuju Indonesia Emas 2045, maka investasi terbesar bukanlah pada infrastruktur beton atau gedung pencakar langit, melainkan pada guru yang mengajar di kelas-kelas sederhana di desa dan kota. Di tangan mereka, cita-cita itu digambar, diucapkan, dan ditanamkan ke hati generasi muda.

Guru bukanlah beban, melainkan investasi paling berharga bagi bangsa ini. Retorika keliru yang sempat beredar harus dijawab dengan kebijakan nyata yang berpihak pada pendidik. Setiap kebijakan yang menyejahterakan guru sejatinya adalah tabungan untuk masa depan Indonesia—masa depan yang ditopang oleh generasi cerdas, kritis, dan berkarakter.

Maka, mari berhenti memandang guru dengan kacamata anggaran sempit. Sebaliknya, lihatlah mereka sebagai modal utama bangsa. Sebab di balik setiap dokter, insinyur, ilmuwan, dan pemimpin, selalu ada sosok guru yang mengajari huruf pertama, angka pertama, dan nilai-nilai kehidupan. Investasi pada guru adalah investasi pada peradaban.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *