Oleh: Risfika Ramadhani, Mahasiswa Mata Kuliah Filsafat Etika Komunikasi UIN Salatiga
Menurut saya di era digital ini, banyak individu yang sangat gemar bermain, bersosialisasi, dan juga bergelut di media sosial, dengan kecepatan internet yang cukup memadai dan perkembangan media sosial yang semakin baik setiap waktunya. Media sosial seringkali digunakan untuk berkomunikasi antar individu dan antar kelompok, tidak hanya di gunakan untuk berkomunikasi saja media sosial juga di gunakan untuk hiburan dan tempat kita untuk mencari validasi.
Era digital telah menciptakan sebuah dunia di mana kecepatan komunikasi menjadi prioritas, sehingga terkadang mengorbankan kualitas berpikir sebelum bertindak. Fenomena “jempol bicara lebih cepat daripada otak” adalah cerminan dari komunikasi impulsif, di mana orang sering kali membagikan, mengomentari, atau merespons sesuatu tanpa mempertimbangkan konsekuensinya terlebih dahulu. Hal ini diperburuk oleh media sosial yang didesain untuk memberikan instant gratification like, share, atau retweet dengan sekali sentuh.
Komunikasi impulsif merujuk pada cara berkomunikasi yang dilakukan tanpa perencanaan atau pertimbangan matang terlebih dahulu. Dalam komunikasi impulsif, seseorang cenderung bereaksi secara spontan atau mengikuti dorongan perasaan atau situasi yang di rasa kan saat itu, tanpa memikirkan konsekuensi dari kata-kata atau tindakan tersebut. Biasanya, komunikasi jenis ini terjadi dalam situasi yang emosional atau penuh tekanan, di mana seseorang sering terbawa arus sehingga memberi kritik dan komentar dengan keadaan emosi yang meluap-luap tanpa memikirkan apakah kritikatau komentar tersebut melukai atau tidak, banyak pribadi yang berbicara atau bertindak dengan cepat berdasarkan perasaan saat itu, seperti marah, kecewa, atau gembira.
Komunikasi impulsif ini memiliki beberapa dampak negatif. Pertama, sering kali menghasilkan misinformasi dan hoaks, karena banyak orang cenderung menyebarkan informasi yang belum diverifikasi kebenarannya , banyak orang yang terbawa arus mengikuti berita – berita yang viral sehingga mereka terbawa emosi dan memberikan komentar tidak baik tanpa memverifikasi kebenaran dari berita tersebut.
Kedua, bisa menciptakan konflik atau perdebatan yang tidak perlu, karena orang dengan cepat menulis sesuatu yang bisa dianggap ofensif atau emosional, di karenakan banyak nya isu-isu viral yang sering menyebabkan perbedaan pendapat anatara kubu yang mendukung ataupun yang menentang sehingga kita seringkali ikut tersulut emosi dalam suatu berita yang belum terverifikasi kebenarannya.
Ketiga, hal ini berkontribusi pada fenomena cancel culture, di mana individu atau kelompok dihakimi berdasarkan potongan kecil informasi yang tersebar luas secara cepat, tanpa analisis lebih dalam , jadi terkadang dikarenakan suatu komunitas memiliki satu anggota yang bermasalah dan melenceng dari norma-norma yang di anggap penting bagi masyarakat media sosial , sering kali membuat satu komunitas tersebut di hakimi, di anggap buruk dan tidak baik padahal dengan adanya salah satu dari anggota komunitas tersebut yang salah bukan berarti semua anggota komunitas tersebut sama buruknya.
Meskipun demikian, komunikasi impulsif juga bisa dimanfaatkan secara positif, misalnya untuk menyebarkan informasi penting secara cepat, seperti dalam situasi darurat atau kampanye sosial yang membutuhkan respons segera. Tantangannya adalah bagaimana individu bisa mengontrol implusif mereka untuk memastikan pesan yang disampaikan tetap relevan dan bertanggung jawab. literasi digital adalah kunci untuk mengatasi tantangan ini.
Mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan memahami dampak komunikasi digital pada kehidupan nyata dapat membantu mengurangi efek negatif dari “jempol yang terlalu cepat.” Di era digital ini, kemampuan untuk berhenti sejenak sebelum berbicara atau berbagi adalah keterampilan yang perlu terus dikembangkan untuk menciptakan ruang komunikasi yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Di era digital, komunikasi telah berubah secara signifikan. Kemudahan teknologi, terutama lewat media sosial dan aplikasi pesan instan, memungkinkan individu untuk berbicara secara spontan hanya dengan mengetuk layar ponsel. Namun, kemudahan ini sering kali membawa risiko komunikasi impulsif di mana respons cepat diutamakan tanpa pertimbangan mendalam. Fenomena ini dikenal sebagai “jempol bicara lebih cepat daripada otak.”