Oleh: Gunawan Trihantoro
Dengan langkah yang diam-diam, kau singgah di ambang fajar,
Membawa kabut kesucian yang merangkul jiwa-jiwa lapar.
Suara azan menggema, merobek selimut kelam,
Kau datang bagai tamu agung yang disambut tangis dan salam.
Di pelataran rindu, kami berhias debu dan doa,
Menyingsingkan lengan, mengukir taubat di lembar waktu.
Kau ajari kami bahasa sunyi, merangkai malam dengan tasbih,
Menyulam ikrar di dinding hati yang retak oleh nafsu yang lihai.
Kau adalah bulan yang meneteskan cahaya ke dalam sumur-sumur diri,
Menggali mata air sabar di tengah dahaga yang tak terperi.
Kami belajar memungut remah-remah syukur dari setiap lara,
Menyadap madu makna dari luka yang tersembunyi di sudut mihrab.
Tapi kini, kau beranjak, pelan, seperti bayang yang lelah,
Meninggalkan jejak-jejak purnama di setiap pintu taubat yang terkuak.
Kami terduduk di pelataran senja, memandang langit yang merapuh,
Merasakan ruang-ruang kosong di antara jari yang masih menggenggam rindu.
Kau pergi, tapi cahayamu menggantung di ujung sajadah yang basah,
Dalam desahan munajat yang masih bergetar di bibir-bibir yang diam.
Kau tinggalkan taman-taman hikmah di setiap malam yang kami simpan,
Di antara halaman Al-Qur’an yang terbuka, dan air mata yang menggenang.
Sebab di setiap sahur yang sunyi, kami masih mendengar desir jubahmu,
Di setiap Lailatul Qadar yang tersipu, kami temui jejak kasihmu.
Kau ajarkan kami bahwa perpisahan hanyalah pintu lain dari pertemuan,
Bahwa Ramadhan takkan mati, ia tumbuh dalam diam, di ladang amal yang tertabur.
Kini kami berdiri di perbatasan syawal, mengibarkan bendera kemenangan,
Membawa serpihan cahayamu sebagai bekal di jalan yang masih panjang.
Kau datang sebagai rahmat, kau pergi sebagai guru yang abadi,
Di antara datang dan pergi, kami belajar tentang cinta yang tak terhingga.
“Selamat jalan, wahai bulan yang mengajak kami pulang.
Kami akan menanti di musim semi, saat kau kembali mengurai berkah dari langit…”
Rumah Kayu Cepu, 30 Maret 2025.