Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Mimbar Jum'at

Kriteria Mukmin Sukses: Menelusuri Makna Kesuksesan dalam Q.S. Al-Mukminun

×

Kriteria Mukmin Sukses: Menelusuri Makna Kesuksesan dalam Q.S. Al-Mukminun

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Muchammad Sirojul Munir, Pengajar di Pondok-Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet Nufo), Rembang

Dalam perspektif Islam, kesuksesan tidak diukur dari pencapaian materi atau status sosial, tetapi dari ketakwaan kepada Allah Swt. dan kualitas iman serta amal sholihnya. Surat al-Mukminun dalam al-Qur’an memberikan panduan yang jelas mengenai kriteria mukmin sukses yang perlu kita perhatikan dengan saksama. Allah Swt. berfirman:

Example 300x600

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَۙ (1) الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ (2) وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَۙ (3) وَالَّذِيْنَ هُمْ لِلزَّكٰوةِ فٰعِلُوْنَۙ (4) وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَۙ (5) اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ (6) فَمَنِ ابْتَغٰى وَرَاۤءَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْعَادُوْنَۚ (7) وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَۙ (8) وَالَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَوٰتِهِمْ يُحَافِظُوْنَۘ (9) اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْوٰرِثُوْنَۙ (10) الَّذِيْنَ يَرِثُوْنَ الْفِرْدَوْسَۗ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ (11)

Sungguh, sukses/beruntunglah orang-orang mukmin (1). (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya (2), orang-orang yang meninggalkan (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna (3), orang-orang yang menunaikan zakat (4), dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya) (6). Maka, siapa yang mencari (pelampiasan syahwat) selain itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (7). (Sungguh beruntung pula) orang-orang yang memelihara amanat dan janji mereka (8), serta orang-orang yang memelihara salat mereka (9). Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (10). (Yaitu) orang-orang yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya (11) (Q.S. al-Mukminun [23]: 1-11).

Q.S. al-Mukminun ayat 1-11 di atas menguraikan enam kriteria yang harus dimiliki oleh seorang mukmin untuk dianggap sukses. Pertama, khusyu’ dalam sholat (Q.S. al-Mukminun: 2). Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa orang-orang mukmin yang beruntung ialah mereka yang mantap imannya dan mereka buktikan kebenarannya dengan amal-amal shalih, salah satunya dengan khusyu’ dalam shalatnya, yakni tenang, rendah hati lahir dan batin, serta perhatiannya terarah kepada shalat yang sedang mereka kerjakan.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir, juga menjelaskan bahwa khusyu’ dalam sholat tiada lain hanya dapat dilakukan oleh orang yang memusatkan hatinya kepada sholatnya, menyibukkan diri dengan sholat, dan melupakan hal yang lainnya, serta lebih memilih mementingkan sholat daripada hal lainnya. Dalam keadaan seperti ini, tambah Ibnu Katsir, barulah seseorang dapat merasakan ketenangan dan kenikmatan dalam shalatnya.

Kedua, menjauhkan diri dari perbuatan sia-sia (Q.S. al-Mukminun: 3). Kriteria kedua adalah berpaling dari atau tidak memberi perhatian kepada hal-hal yang sia-sia atau tidak bermanfaat. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa karena shalat yang benar dan baik menjauhkan pelakunya dari hal-hal yang buruk bahkan yang mestinya ditiadakan, maka sifat selanjutnya yang disebut adalah tidak memberi perhatian kepada hal-hal yang tidak bermanfaat. Menurut Ibnu Abbas, dalam Tafsir Ibnu Abbas yang ditulis oleh Ali bin Abu Thalhah, maksud kata al-laghw dalam ayat ini adalah perkara yang batil.

Sejalan dengan penejelasan Quraish Shihab dan Ibnu Abbas, Syaikh Nawawi dalam Tafsir Marah Labid (Tafsir al-Munir) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah orang-orang yang meninggalkan hal-hal yang tidak diperlukan (tidak bermanfaat), baik berupa perkataan maupun perbuatan, dalam segala waktu.

Ketiga, menunaikan zakat (Q.S. al-Mukminun: 4). Menurut Ibnu Katsir, ayat tersebut dapat diartikan bahwa makna yang dimaksud dengan zakat dalam ayat ini adalah zakatun nafs (membersihkan diri/jiwa) dari kemusyrikan dan kotoran (Q.S. al-Syams: 9-10 dan Fushshilat: 6-7). Dapat pula diartikan bahwa makna yang dimaksud adalah kedua pengertian tersebut secara bersamaan, yaitu zakat jiwa dan zakat harta. Karena sesungguhnya hal itu termasuk zakat diri (jiwa), dan mukmin yang sempurna adalah orang yang menunaikan zakat jiwa dan zakat harta.

Hal senada juga disampaikan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Buya HAMKA, dalam Tafsir al-Azhar. HAMKA menjelaskan bahwa surah al-Mukminun diturunkan di Makkah (ayat Makkiyah), sedangkan di Makkah pada saat itu belum ada syariat untuk menunaikan zakat, yakni membayarkan bilangan harta tertentu kepada yang berhak menerimanya. Perintah zakat sebagai salah satu rukun Islam baru turun di Madinah, dan perintah mengeluarkan zakat harta dimulai dengan kalimat: Aatu, yang artinya memberikan atau mengeluarkan zakat. Dengan demikian, telah jelas bahwa dalam ayat ini belum ada perintah mengeluarkan harta dengan bilangan tertentu (nishab), tetapi baru ada perintah yang umum untuk bekerja keras membersihkan perangai, akhlak, dan budi pekerti.

Keempat, menjaga kemaluan (Q.S. al-Mukminun: 5-7). Hal ini, menurut Syaikh Nawawi dalam kitab tafsirnya, termasuk pula tidak mengumbar kemaluan atau aurat kepada orang lain, kecuali kepada istri atau hamba sahaya. Mengenai maksud ayat ini, HAMKA juga menjelaskan bahwa kalau faraj (kemaluan) tidak dijaga, dan sang suami masih suka mencari perempuan lain untuk memuaskan hawa nafsunya di samping istrinya yang sah, maka keretakan rumah tangga akan muncul. Jiwanya akan rusak, kesucian akan hancur, dan rumah tangga juga akan hancur, bahkan menjadi bagai neraka.

Quraish Shihab dalam tafsirnya menambahkan bahwa potongan ayat “kecuali terhadap pasangan-pasangan mereka atau budak wanita yang mereka miliki” dijadikan oleh sementara ulama’ sebagai salah satu argumen pengharaman onani. Sebab, penyaluran kebutuhan seks hanya dibenarkan dengan pasangan hidup dan/atau bagi pria dengan budak-budak wanita, ketika yang terakhir (perbudakan) masih ada.

Kelima, memelihara amanah dan janji (Q.S. al-Mukminun: 8). Menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Mishbah, amanat yang berada di pundak manusia mencakup empat aspek. Aspek pertama adalah amanat antara manusia dengan Allah, seperti aneka macam ibadah, salah satunya nazar. Aspek kedua adalah amanat antara seseorang dengan orang lain, seperti titipan dan rahasia. Aspek ketiga adalah amanat antara seseorangh dengan lingkungan, misalnya menyangkut pemeliharaannya agar dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Aspek keempat adalah amanat dengan dirinya sendiri, di antaranya menyangkut kesehatan, sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.” (H.R. al-Bukhari melalui Abu Jauhaifah).

Kata ‘ahd, lanjut Quraish Shihab, antara lain artinya adalah wasiat atau janji. Yang dimaksud adalah komitmen antara dua orang atau lebih untuk sesuatu yang disepakati bersama. Misalnya berjanji untuk belajar bersama pada tempat dan waktu tertentu. Namun, janji semacam ini justru merupakan salah satu yang paling banyak dilanggar oleh manusia, termasuk kaum muslimin.

Keenam, menjaga sholat (Q.S. al-Mukminun: 9). Menurut Ibnu Katsir, yang dimaksud dalam ayat ini adalah mengerjakan sholat secara rutin tepat pada waktunya masing-masing, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud ketika ia bertanya kepada Rasulullah saw.:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: “الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا”. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: “بِرُّ الْوَالِدَيْنِ”. قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: “الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ”.

Aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah amal apakah yang paling disukai oleh Allah?” Rasulullah saw. menjawab, “Mengerjakan salat di dalam waktunya.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berjihad pada jalan Allah.” (H.R. Bukhari-Muslim).

Senada dengan Ibnu Katsir, Quraish Shihab dalam tafsirnya juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, maksud dari ayat tersebut adalah memelihara waktu shalat, sehingga terlaksana pada waktu yang ditetapkan, serta memelihaara pula rukun, wajib, dan sunnah-sunnahnya. Semoga kita semua dapat menjadi mukmin sukses/beruntung sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Mukminun di atas, serta dalam secara istiqomah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Aamiin. Wallaahu a’lamu bi al-showaab.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mimbar Jum'at

Oleh: Muhammad Muadz Alfayyad, Mahasiswa UIN Salatiga Hari…