Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

Lembayung (Eps. 02)

×

Lembayung (Eps. 02)

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ida Ariyani, M. Sos., Guru Literasi Pesantren-Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet Nufo) Rembang

“Sudah dulu ya, Ayah. Jaga kesehatan. Assalamu’alaikum.”

Example 300x600

Suara lembut Galuh mengakhiri panggilan. Ia lekas turun dari dinding pembatas balkon lantai tiga, lalu mendongak ke atas. Langit sore Jakarta masih sama seperti kemarin—jingga pudar bercampur abu-abu akibat polusi dan gerombolan awan yang mulai berlarian.

Tak mengapa, pemandangan sederhana inilah yang selalu membuatnya tetap bertahan di kota ini, meski hidupnya tak pernah benar-benar mudah.

Galuh mengalihkan pikirannya ke latihan fisik—salah satu rutinitas favoritnya. Selain untuk menjaga massa otot, ia percaya aktivitas ini bisa merangsang endorfin, mencegahnya dari stres akibat beban tugas dan tanggung jawab yang terkadang terasa mencekik.

Ia memulai dengan jumping jack, lalu squat, dilanjutkan push-up, dan diakhiri dengan plank. Setiap gerakan biasanya ia ulang hingga lima puluh kali.

Dua puluh menit berlalu. Sampailah Galuh di bagian akhir yang paling ia sukai—plank. Keringat sudah mengalir deras di pelipisnya. Seluruh tubuhnya bergetar, terutama di bagian otot perut. Namun, ia tetap fokus menghitung dan mengatur napas.

Tiba-tiba—BRUK!

Pintu besi dibuka dengan keras, seolah didobrak dengan sebatang kayu.

Refleks, Galuh sontak berdiri dengan posisi kuda-kuda, siap menyerang.

“Tum!!! Lu kenapa nggak angkat telepon?!” suara Abel membelah keheningan. Nafasnya masih tersengal akibat berlari dari lantai satu hingga lantai tiga. “Ayo bersiap! Kita ke Semarang sekarang!”

Galuh mengernyit, masih berusaha mencerna ucapan itu. “Apaan sih lu? Kagak ada telepon masuk.”

Abel, adik angkatannya sekaligus sekretaris yang berbadan tebal dengan kulit sawo matang dan rambut keriting, meliriknya dengan ekspresi frustrasi.

Galuh merogoh saku celananya, mengambil HP hitamnya yang cuma bisa hidup dengan sekali pencet. Namun, kali ini benar-benar mati. Ia baru ingat, tadi ia menutup panggilan dengan ayahnya karena lowbat.

“Bel! Tungguin gue!” Galuh segera menyusul Abel yang sudah berbalik pergi dengan wajah merajuk.

“Abel… mau beli ketoprak nggak?” bujuknya sambil memijat pundak tebal pemuda itu—rayuan pamungkas yang biasanya berhasil.

Namun, kali ini Abel tetap cemberut. “Ogah. Gua lagi diet.”

“Ya udah. Gua pesen sendiri aja,” ucap Galuh, pura-pura tidak peduli. Ia melangkah turun dua anak tangga sekaligus.

Abel, yang sudah separuh jalan menuruni tangga, akhirnya bersuara lagi. “Kereta berangkat jam 17.40 tepat. Kita harus berangkat 10 menit dari sekarang. Jadi… (berhenti sejenak) telornya dua dan es jeruk jangan lupa.”

Galuh tersenyum tipis. Kena juga.

“Siap, Bos!” katanya sambil melesat turun.


5.30 PM – Gerbong 3, Stasiun Pasar Senen

Galuh duduk bersandar di kursinya, tangannya sibuk memainkan ujung pashmina ungu yang melilit kepalanya.

Ia masih merasa aneh dengan penyamarannya kali ini. Biasanya, orang mengenalnya sebagai gadis tomboy dengan hoodie kebesaran dan sneakers hitam. Tapi sekarang? Ia mengenakan gamis putih model balon, pashmina ungu, bahkan ada pita ala Ricis di belakang.

Setiap mata di gerbong seakan melirik ke arahnya.

Dan Abel?

Pemuda itu sudah terkikik sejak dari markas hingga kini.

Galuh melotot, lalu tanpa ampun menginjak kaki Abel yang hanya beralaskan sandal.

“Aaaauuu! Sakit, Tum!” Abel melonjak, nyaris menabrak meja lipat di depannya.

Galuh menatapnya tajam. “Diem nggak lu? Lu yang nyuruh gua dandan kayak pemudi hijrah, ya Bel ya. Bener-bener lu!”

Abel masih mengaduh sambil mengusap-usap kakinya.

“Jadi, kita nanti di tempat siapa?” tanya Galuh, mengubah topik. “Emang ada orang-orang dari organisasi kita yang bisa dipercaya di sana? Biasanya kan cuma adik-adik univ….”

Tanpa perlu keterangan lanjut, Abel mengangguk santai. “Bener, Tum. Tapi anak-anak ini beda. Mereka melek politik. Bahkan, mereka udah dianggap ancaman nasional.”

Galuh langsung paham siapa yang dimaksud Abel. Ia menyeringai.

“Baiklah. Sekarang jelasin, apa proyek yang bakal dijalanin sama ‘Ketum Peang’ itu?” tanyanya sambil mengeluarkan kamera mirrorless Canon M10 dari ranselnya.

Abel membuka laptopnya. “Ada sepuluh lembaga yang jadi target organisasi kita sebelum kepengurusan selesai. Lima udah beres sebelum Indri meninggal. Sisa lima lagi, termasuk yang ini.”

Galuh mengangguk, lalu memotret lorong gerbong dengan angle yang pas dengan komposisi leading line.

“Lembaga mana yang dia incer kali ini? Gak ada pembahasan di rapat tuh,” tanyanya, kini lebih serius.

“Kesbangp*l,” jawab Abel. “Proyek dadakan. Lusa sudah harus dieksekusi. Jadi, besok proposal yang dibawa sama ‘Tum Peng’ harus udah ada di tangan kita.”

Galuh menghela napas. “Baiklah. Kita sampai Semarang jam berapa?”

“Jam tiga pagi. Pas subuh bisa langsung gerak.”

Galuh bersandar. “Oke. Kita tidur dulu. Gua nggak mau ada drama besok.”


Keesokan Harinya – 09.30 AM

Galuh dan Abel kini tampil lebih kasual—jauh dari penyamaran semalam. Galuh mengenakan hoodie abu-abu dan celana cargo hitam, sementara Abel cukup dengan kaos hitam polos dan jaket jeans.

Mereka berdiri di depan gedung Kesbangp*l Semarang.

“Jadi, rencana kita gimana?” bisik Galuh.

“Masuk, pura-pura jadi perwakilan mahasiswa, cari arsip, ambil proposal, cabut,” jelas Abel percaya diri.

Galuh melotot. “Lu pikir gampang? Itu kantor pemerintahan, bos!”

Abel hanya terkekeh. “Justru itu tantangannya.”

Mereka pun melangkah masuk.

Lobi Kesbangp*l cukup luas, dengan meja resepsionis di tengah. Saat Abel mulai berbasa-basi dengan petugas, Galuh melirik lorong kanan yang mengarah ke ruang arsip. Ia memberi kode dengan tatapan.

Abel mengulur waktu. Sementara itu, Galuh berjalan cepat menuju lorong.

Namun, baru saja ia tiba di depan pintu arsip—

PINTU TERBUKA.

Galuh menahan napas, buru-buru berpaling ke samping, pura-pura mengecek jam tangan.

Tapi begitu melihat siapa yang keluar dari ruangan itu, matanya membelalak.

“Nath?! Lo ngapain di sini?”

Eknath Hadinata—Mas Nath—berdiri di hadapannya dengan alis mengernyit. Kemeja navy-nya tergulung hingga siku, tangan kanannya memegang map merah.

“Harusnya gue yang tanya,” kata Nath. “Lo ngapain di sini, Galuh?”

Otak Galuh berputar mencari alasan.

Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara Abel terdengar dari kejauhan.

“Tum! Lu ketemu siapa?”

Nath melirik ke arah Abel yang kini ikut berlari mendekat.

Abel pun ternganga. “Eh, Mas Nath?! Gila! Kok bisa ketemu di sini?”

Nath menyipitkan mata. “Jadi… kalian mau ngapain di Kesbangp*l?”

Galuh dan Abel saling berpandangan.

Bersambung…

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Tangannya kesemutan diikat dibelakang, kakinya tertekuk dengan darah…

Cerpen

Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga “Kayaknya bapak…

Cerpen

Oleh: Anak Pagi Siang hari di tengah ketangguhan…

Cerpen

Di sebuah desa kecil, terdapat hutan yang terkenal…

Cerpen

Oleh: Algazella Sukmasari, S.P.d., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam…