Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Fiksi Mini

Rumah Itu Bernama Ibu

×

Rumah Itu Bernama Ibu

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ashila Nayla Alifa Agnis, Santri-Murid Planet Nufo Rembang asal Semarang

Tepat 22 Desember, di sebuah ruang kelas X SMA Bakti Nusa

Example 300x600

“Emangnya home sama house beda, ya?” ujarku, benar-benar tidak tahu perbedaan keduanya. Lagipula, artinya sama saja, kan? Sama-sama rumah.

“Beda, Disti… Kamu emang nggak tahu?”
Perkenalkan, dia Keisha, teman sebangkuku selama hampir empat tahun. Ya, sejak SMP hingga kini kami duduk di bangku kelas X SMA, aku dan Keisha selalu sebangku.

“Tell me, lah, Kei,” pintaku.

Alih-alih langsung menjelaskan, Keisha justru menatapku dengan ekspresi heran.

“Yeu, orang disuruh jelasin malah merenung.”

“Gini deh, Dis. Jangan potong ucapanku, ya,” pinta Keisha.
“Ya.”

House itu rumah dalam bentuk bangunan. Rumah yang kita tempati secara fisik disebut house. Sedangkan home itu rumah yang bukan berupa wujud fisik, tapi emosional. Sosok atau tempat yang bikin kita merasa nyaman dan aman. Paham?”

Aku mengangguk. Lumayan, sekarang aku mengerti.

“I see, Kei.”

“So, who is your home, Dis?” tanya Keisha.

Rumah? Siapa ya sosok yang bisa kusebut rumah?

“Nggak tahu, Kei.”

Keisha berpikir sebentar sebelum menjawab,
“Mamahku. My home is my mom.


Hari ini aku mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, jadi pulang lebih sore dari biasanya. Untungnya, jarak sekolah ke rumah tidak terlalu jauh, sehingga aku bisa berjalan kaki, meskipun cukup melelahkan. Anehnya, semakin dekat ke rumah, langkah kakiku justru terasa semakin berat. Mungkin karena kelelahan setelah kegiatan ekstra.

Sesampainya di depan gerbang, perasaan janggal menyelimutiku. Ini rumahku, kan? Tapi kenapa terasa sepi sekali? Biasanya Bunda sedang menyiram tanaman.

“Jam empat lewat sepuluh, kan? Kok sepi banget,” gumamku.

Aku tak ingin berlama-lama di depan gerbang. Aku segera membukanya dan mengetuk pintu rumah.

Tok. Tok. Tok.

Biasanya, setelah tiga kali ketukan, Bunda akan datang membukakan pintu. Namun kali ini tidak. Aku mencoba memutar gagang pintu, tapi terkunci. Untungnya, Bunda memberiku kunci cadangan.

Aku adalah anak tunggal. Ayah dan Bunda telah bercerai empat tahun lalu. Ayahku pecandu narkoba dan penjudi. Bahkan, dulu Bunda sering menjadi korban kekerasan. Dasar laki-laki biadab.

Kami hanya tinggal berdua. Bunda bekerja sebagai pegawai kantor. Biasanya, saat aku pulang dari kegiatan ekstra, Bunda sudah berada di rumah. Namun hari ini berbeda. Tidak adanya Bunda membuat suasana rumah terasa benar-benar berubah.

Padahal bangunannya tetap sama.

“Bunda?”

Aku mengecek dapur terlebih dahulu—kosong. Lalu kamar tidur Bunda, dan terakhir kamar mandi. Bunda benar-benar tidak ada di rumah.

“Bunda pergi ke mana, ya?”

Karena kelelahan, aku membersihkan diri lalu merebahkan tubuh di sofa. Aku menyalakan ponsel yang sejak tadi kumatikan dan kusimpan di tas. Ternyata, Bunda sudah mengirim pesan beberapa jam lalu.

Disti, maafin Bunda ya. Bunda masih di kantor, hari ini Bunda lembur. Bunda sudah beliin makan buat makan malam kamu. Bunda taruh di atas meja makan, dimakan ya. Kalau ada apa-apa kabarin Bunda. Bunda sayang Disti.

Hening. Sepertinya Bunda akan pulang larut. Entah kenapa, aku merasa sedih dan hampa.

Aku membalas pesannya agar Bunda tidak khawatir.

Iya, Bun. Nanti Disti makan kok. Bunda semangat kerjanya!

Hening kembali menyelimuti rumah. Ternyata, suasana bisa sesehening ini tanpa Bunda. Kapan ya Bunda pulang? Padahal banyak hal yang ingin kuceritakan.

Sore ini aku hanya ditemani dentingan jam, bukan pertanyaan-pertanyaan hangat yang biasa Bunda lontarkan setiap kali aku pulang sekolah. Sebenarnya aku sudah sampai rumah, atau belum? Mengapa suasananya terasa begitu asing?

Apakah Bunda adalah “rumah” yang dimaksud Keisha? Sepertinya memang Bunda-lah rumah itu. Tempatku merasa aman dan ingin selalu pulang. Mungkin inilah alasan mengapa hari ini terasa berbeda—karena tidak ada Bunda di sisiku.

Aku teringat satu hal. Aku membuka kembali ruang obrolanku dengan Bunda dan menuliskan pesan.

Bunda, selamat Hari Ibu untuk Bunda kesayangannya Disti, yang sudah banyak berkorban untuk Disti. Terima kasih karena sudah mengorbankan begitu banyak hal dan membesarkan Disti dengan penuh perjuangan. Disti sayang Bunda…

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fiksi Mini

Oleh: Hasbi Ubaidillah Zuhdi, Santri-Murid Kelas VIII SMP…