Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

Tak Bersuara

×

Tak Bersuara

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Tangannya kesemutan diikat dibelakang, kakinya tertekuk dengan darah yang mengalir di betisnya melewati mata kaki. Bau anyir darah menyengat, begitu pula dengan rasa asin keringat yang tak sengaja masuk ke dalam mulutnya. Sedangkan matanya tertutup oleh kain yang memiliki bau tak sedap karena bercampur dengan darah.

“Siapa yang menyuruhmu!” Kata suara dengan nada berat itu sambil menendang sang sandera tepat diperutnya.

Kembali remaja bertubuh ringkih itu terpental mengeluarkan darah segar dari mulut, napasnya tersendat-sendat seperti orang yang ajalnya akan dicabut. Mungkin di dalam dirinya sudah tidak ada usaha untuk keluar dari ruangan gelap berbau besi dan darah ini. Ia pasrah, tinggal menunggu dirinya benar-benar dibunuh.

“Jawab, bangsat!” Kata orang berbadan tinggi itu sekali lagi.

“Bagaimana bisa orang kecil sepertimu menggunakan tangan-tangan ini untuk menulis hal yang bisa membuat orang lain terpengaruh,” Lanjutnya dengan menginjak tangan sang sandera.

Tak ada suara yang keluar, hanya suara cambukan dan tendangan dari pria berbadan tinggi tadi yang kesetanan karena sang sandera benar-benar tidak mengeluarkan suara.

“Tak guna!” Hardiknya dengan nada keras.

Tangan kasarnya membuka penutup mata remaja yang disandera, kemudian meludah tepat diwajah remaja tadi.

“Sampah,” Sambil melayangkan satu bogeman tepat dipipi.

Kembali menahan rasa sakit yang mulai mati rasa di seluruh tubuhnya, remaja yang kini bisa melihat orang yang menyanderanya hanya menatap dengan tatapan kosong.

Dalam hatinya bergumam, biarlah ia mati, asalkan tulisan tangannya tentang kebenaran bisa sampai kepada rakyat, agar harapan yang terasa kecil itu bisa dijalankan kepada siapa saja yang merasakan bagaimana kesengsaraan tokoh dalam tulisannya untuk keluar dari belenggu sempit pemikiran orang-orang yang menangkapnya seperti ini. Agar ada perubahan walaupun hanya setitik, agar kebebasan benar-benar bisa ada dalam genggaman.

Satu orang dari arah pintu membawa se-ember air yang mengeluarkan asap, lalu diletakkannya ember itu di samping pria berbadan tinggi.

“Jawab sekali lagi, siapa yang menyuruhmu.”

Jawabannya tidak ada, karena itu adalah tulisan yang memang ia tulis sendiri dari dalam hatinya, dari dalam jiwa kenelangsaannya melihat bagaimana kekuasaan mereka membuat banyak orang takut.

Remaja itu tetap pada pendiriannya untuk bungkam, karena bagaimanapun, mau ia jawab dengan jujur dan ia jawab dengan tidak jujur, sama saja ia akan dimusnahkan setelah ini.

Ember tadi diangkat, disiramkannya ke tubuh sang remaja dengan santai seperti sudah terbiasa melakukannya.

Panas, hanya itu yang dirasakan. Tadinya tubuhnya menggigil kedinginan, tapi kemudian rasa panas membuat ia merasa hangat dan setelahnya terasa terbakar hebat ditambah luka-luka basahnya yang terpampang ngeri setelah diguyur air mendidih itu.

Ia seperti daging yang direbus, perih, panas, nyeri, semua bercampur menjadi satu.

Matanya hanya mengerjap beberapa kali, ia sangat muak untuk sekedar membuka mata, ia tak mau bersitatap dengan pria berbadan tinggi itu. Bukan karena takut, tapi karena jijik.

Satu orang yang sama kembali datang dari arah pintu, membawa satu ember lagi. Apakah itu siraman air mendidih yang kedua.

Remaja malang itu tersenyum tipis, lama sekali ajal menjemputnya. Ia sudah tidak tahan untuk merasakan penyiksaan ini, bagaimana kalau ibunya melihat ia tengah direbus seperti ini, mungkin tangisnya bisa sampai 7 hari.

“Terakhir kali sebelum kau benar-benar mati, siapa yang menyuruhmu sialan!” Hardik pria berbadan tinggi itu, lagi dan lagi.

Mau mengharapkan apa dari remaja ini? Jawaban pasti?

Kembali disiramkannya satu ember, yang dirasakan sang remaja kini bukan panas lagi, tapi rasa dingin yang sangat-sangat dingin.

Kulitnya yang tadi terasa panas kini mendingin, selanjutnya rasa dingin, dingin, sampai ia mati rasa.

“Aku tidak punya apapun lagi untuk membuatmu membuka suara, jadi selamat karna setelah ini kau akan bebas dari rasa sakit.” Ucap pria berbadan tinggi tadi dengan frustasi.

Ditariknya sang remaja yang kulitnya sudah mengelupas tak berbentuk itu untuk berdiri tegak dan didorong ke tembok belakang dengan sangat kuat.

Dor!!

Satu tembakan melesat kuat ke dada kiri sang remaja, matanya menatap nyalang pria berbadan tinggi tadi, diteruskan dengan senyum miring.

Selesai, penyiksaannya selesai. Mau ibunya berteriak untuk berbicara dengannya saja remaja itu tak akan mengeluarkan suara, apalagi penyandera. Karena, ia hanya seorang remaja bisu, yang hanya ingin mengeluarkan suara melalui retorika dalam tulisannya.

Example 300x600

Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga “Kayaknya bapak…

Cerpen

Oleh: Anak Pagi Siang hari di tengah ketangguhan…

Cerpen

Di sebuah desa kecil, terdapat hutan yang terkenal…

Cerpen

Oleh: Algazella Sukmasari, S.P.d., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam…

Cerpen

Oleh: Ida Ariyani, M. Sos., Guru Literasi Pesantren-Sekolah…