Oleh: Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora
Untuk Affan Kurniawan (2004-2025) dan semua yang berani bersuara.
“Karena kata-kata adalah senjata terakhir ketika segala cara dibungkam”
1
“Dengarlah Deru Mesin dan Luka Ibu Pertiwi”
Deru Barakuda di Pejompongan
Kau hela nafas di dini hari,
Kecup pipi putri dan sang istri
“Doakan aku membawa rejeki lebih dari kemarin”
Itulah yang kaujanjikan pada kehidupan .
Tapi hari ini, deru bukan deru mesin ojol
Deru itu datang dari Barakuda yang menggelegar
Menyembur ketakutan di antara demo yang ricuh
Menggilas harapan di aspal panas Pejompongan
Kau terjatuh, dan roda-roda besi itu tak berhenti
Menerjang tubuhmu, menerjang impianmu .
Dia bukan pengacau, dia hanya pengantar orderan
Dia adalah Affan, mitra Gojek yang bekerja sunyi
Dia adalah suara yang terpotong oleh kekerasan
Dia adalah kita semua yang menuntut didengar.
Dan kini, Ibu Pertiwi merintih lagi
Seperti yang pernah digoreskan dalam puisi lama
“Hidup memang panggung sandiwara
Mereka adalah pemimpinku
Yang janjikan kesejahteraan, tapi yang ada kemelaratan”
2
“Kami Bunga yang Dirontokkan di Bumi Kami Sendiri”
Kami adalah bunga
Bunga yang tak diundang untuk tumbuh
Bunga yang diinjak-injak oleh sepatu lars
Bunga yang direnggut nyawanya oleh kekerasan
Kami adalah ojol yang bekerja keras
“Panas kepanasan; hujan kehujanan”
Tapi kami juga warga negara
Yang berhak hidup tanpa rasa takut.
Hukum memang tampak berpihak.
“Negara ini bukan tempat yang layak untuk itu semua
Ini menyangkut kehidupan rakyat banyak
Ini menyangkut sejengkal perut rakyat yang haus perhatian”
Tapi ketika kami berteriak, suara kami,
“Seakan berteriak di sebuah gua.
Suara itu memantul, suara itu hanya bisa kembali”
Tapi kami tidak akan diam.
Seperti kata Wiji Thukul, sastrawan yang hilang:
“jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa”
Dan kami tidak akan putus asa.
Blora, 29 Agustus 2025