Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Fiksi MiniSastra

Kehormatan

×

Kehormatan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ficky Prasetyo Wibowo, Guru Seni Musik Sekolah Alam Nurul Furqon

Pasukan burung camar sudah bersiap untuk kembali ke sangkar. Berbaris-baris, bershaf-shaf, terbang mengangkasa menghiasi cakrawala. Sore ini aku kembali duduk di sebuah kursi panjang yang sudah mulai usang. Kursi ini masih menyimpan kehangatan. Bukan hanya karena sinar mentari selama siang tadi menerpanya, tetapi ada hal yang terulang setelah sekian lama. Aku kembali duduk bersamanya, di kursi bercorak biru tua, menghadap matahari yang mulai tenggelam tanpa daya.

Example 300x600

Kami duduk berdua. Kembali menghirup udara yang sama, melihat menara masjid yang lama. Pikiran kami sedang menerka-nerka masa demi masa yang pernah kami lewati bersama.

“Tak terasa langkah kita sudah tak memperlihatkan awalnya.” İa membuka suara.

“Hampir saja lupa, bagaimana kita bisa meyakinkan diri untuk memulainya.” İa melanjutkan tanpa memalingkan muka.

Aku tersenyum. Melihat binar matanya yang tengah dipenuhi rasa syukur. İa ikut tersenyum. Lalu melepas pandangnya menuju senja. Aku terpesona melihat wajahnya.

“Kau terlampau kuat bertahan. Rela mendampingiku di dalam segala keadaan.” Aku memulai kata.

“Sewajarnya begitu manusia harus hidup. Bukan hanya mencari kesenangan semu, dan merasa hebat di dalam zona nyaman. Membersamaimu dalam proses membersamai orang lain berkembang adalah tantangan hidup yang sangat mengasyikkan.” Tuturnya lembut dengan penuh keyakinan.

“Kau tak merasa berat, membersamai anak-anak yang terkadang menyebalkan?” Tanyaku sambil menatapnya tajam.

“Tak ada yang berat. Apalagi bersamamu. Yang berat adalah kita hanya hidup untuk diri kita sendri. Aku hanya merawatmu, dan kamu hanya merawatku. Dunia pasti akan terasa sepi.” kali ini, pandangan kami bertemu.

“Katamu, kita tidak cukup menjadi sepasang merpati yang hanya mengurus keluarganya sendiri. Apalagi ayam, yang setelah berhubungan badan, lantas sang induk dibiarkan mengerami sendiri, dibiarkan membesarkan anaknya sendiri dan mencari makan sendiri?”
“Kita harus jadi manusia”. guraunya dengan senyum tipis, dengan sedikit kedipan di matanya.

“Kau benar. Aku mulai menikmati hidup dalam keramaian. Melihat anak-anak belajar, melihat mereka berkembang, menertawakan mereka bertengkar, dan menangis haru menyaksikan mereka memperoleh kemenangan.” kami sama-sama tertawa. Kemudian sama-sama menoleh ke belakang tempat anak-anak bermain bola di lapangan.

“Sungguh! Kita sedang berada di dalam kenikmatan. Dari anak-anak kita banyak belajar. Bagaimana seharusnya mendidik anak dengan baik dan benar. Masihkah punya keinginan memiliki dua belas anak?” tanyanya mengagetkan.

“Haha. Kau kuat?” tanyaku sungguhan.

“Selagi bersamamu.”

Matahari mulai temaram. Adzan maghrib berkumandang. Kami bersiap menghadap-Nya dengan penuh keimanan.


Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *