Oleh: Muhamad Rijal, Presiden mahasiswa STIT Al Azami Cianjur
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter merujuk pada sifat, ahlak,atau budi pekerti seseorang yang membedakannya dari orang lain. Jika kita Kembali kepada pemikiran imam al-gajali, ahlak bukan soal patuh membisu, tetapi tentang kejujuran hati dan Tindakan yang muncul dari jiwa yang bersih. Maka mahasiswa yang berani menyuarakan kebernaran adalah karakter yang sejati membungkam mereka atas nama adab, justru mencederai makna adab itu sendiri.
Tan Malaka mengajarkan dalam tulisannya bahwa keberanian berfikir dan menyuarakan kebenaran adalah inti dari perjuangan. Maka mahasiswa yang vokal bukan musuh bagi kampus tapi pewaris sah semangat kebangsaan dan intelektual itu sendiri. Sementara itu, pembunuhan karakter adalah Upaya untuk merusak atau mencoreng reputasi seseorang.
Fenomena pembungkaman kritis mahasiswa dengan dalih adab antara Upaya perubahan, dan ego struktural telah terjadi, ini menjadi isu yang tengah hangat di kampus saat ini. Munculnya suatu ketegangan antara mahasiswa yang bersikap aktif, kritis, dan vokal dalam menyampaikan pendapat, dengan sebagian kalangan dosen atau struktural kampus yang cenderung membatasi ruang kebebasan tersebut.
Mahasiswa yang berusaha mengsukseskan sebuah acara atau menyampaikan kritik konstruktif atas kebijakan kampus kerap diposisikan seolah-olah telah melanggar nilai-nilai adab dan etika akademik, padahal esensi dari Pendidikan tinggi adalah membentuk insan akademik yang berfikir bebas, bertanggung jawab, dan mampu menyampaikan gagasan secara argumentatif.
Fenomena ini seringkali datandai dengan adanya egosentris dari sebagaian pihak struktural yang melihat kritik mahasiwa sebagai bentuk perlawanan atau ketidak patuhan, bukan sebagai wujud kepedulian dan partisifasi aktif dalam membangun kampus. Argumentasi kritis mahasiswa dibenturkan dengan konsep “adab” secara sempit sehingga seolah-olah besuara tegas berarti tidak beretika. Padahal, keberanian berdialektika dan menyuarakan kebenaran merupakan bagian dari akhlak intelektual yang dijunjung dalam tradisi keilmuan Islam.
Ketika ruang dialog yang sehat mulai dibatasi, dan mahasiswa yang aktif justru distigma sebagi pembangkang alias niradab, maka hal ini menjadi sinyal peringatan bahwa budaya akademik mulai digantikan oleh kepentingan kekuasaan biokratik. Situasi ini tak lain seperti pembunuhan karakter secara perlahan terhadap mahasiswa yang peduli dan berani. Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang bagi tumbuhnya nalar kritis, bukan tempat argumentasi dibungkam atas nama adab yang dipersempit maknanya.
Isu ini harus menjadi refleksi bersama, bahwa akhlak tidaklah meniadakan kritik, dan penghormatan tidaklah identik dengan diam dan membungkam diri. Sebaliknya, kritik yang sehat dan argumentatif justru merupakan bentuk penghormatan terhadap institusi Pendidikan yang menghargai ilmu dan kebenaran.
Pada akhirnya, mahasiswa tidak boleh hanya menjadi penonton dalam perdebatan mengenai kebijakan kampus, tetapi harus aktif terlibat dalam diskusi dan kritik kontruktif. Hanya dengan cara ini, karakter mereka sebagai individu yang berfikir kritis dan penuh idealisme dapat terjaga, dan pembuhan karakter mahasiswa oleh kampus dapat dihentikan.