Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Kolom

Persaingan Usaha Sehat untuk Rakyat Indonesia

×

Persaingan Usaha Sehat untuk Rakyat Indonesia

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Achmad Afifuddin

Analisis Kebijakan MudaKantor Wilayah IV Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Example 300x600

Persaingan usaha, sebuah konsep fundamental dalam sistem ekonomi pasar, sering kali diselimuti oleh persepsi negatif dan rasa ketakutan, terutama di kalangan pelaku usaha kecil. Anggapan bahwa persaingan sehat hanyalah arena bagi “pemain” bermodal besar, sementara usaha kecil hanya akan tergilas, menjadi pandangan umum yang sulit dihilangkan. Ketakutan ini, pada gilirannya, sering mendorong munculnya permintaan proteksi atau perlindungan yang berlebihan dari pemerintah. Namun, ironisnya, data di lapangan menunjukkan fenomena yang berkebalikan: justru pelaku usaha kategori menengah hingga besar yang lebih sering mengajukan permohonan perlindungan regulasi atau kebijakan tertentu, bukan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) yang secara teoretis lebih rentan.

Terdapat perbedaan filosofis yang mendasar dalam praktik dan regulasi persaingan usaha sehat di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara maju, khususnya di Eropa. Perbedaan krusial ini terletak pada kebijakan perlindungan terhadap UMK. Di Indonesia, semangat perlindungan terhadap UMK sangat kuat dan termaktub dalam regulasi persaingan usaha. Pelaku UMK, bahkan jika terbukti melakukan praktik persaingan usaha tidak sehat—misalnya dalam bentuk kartel harga atau pembagian wilayah—tidak akan dikenakan sanksi administrasi. Kebijakan ini merupakan manifestasi dari keberpihakan pemerintah untuk memastikan UMK dapat bertahan dan tumbuh. Kontras dengan Indonesia, di Eropa, prinsip kesetaraan di depan hukum persaingan usaha sangat dijunjung tinggi. Setiap pelaku usaha, tanpa memandang skala usahanya, dianggap setara (level playing field). Konsekuensinya, UMK di Eropa akan tetap dikenakan sanksi jika terbukti melanggar aturan persaingan usaha tidak sehat.

Pengalaman yang diperoleh penulis dari pelatihan di Lembaga Persaingan Usaha Eropa menyingkap sebuah ironi praktik di Indonesia. Salah satu pemateri dari Eropa menyoroti kejanggalan dalam praktik penetapan harga di antara pelaku usaha kuliner di beberapa wilayah wisata di Indonesia. Pemateri tersebut menilai tidak logis jika produk-produk yang dijual memiliki harga yang seragam, mengingat adanya perbedaan signifikan dalam biaya produksi, efisiensi, dan kualitas bahan baku yang digunakan. Keseragaman harga ini kuat mengindikasikan adanya praktik kartel atau kesepakatan harga yang, secara teoritis, melanggar prinsip persaingan usaha sehat. Meskipun secara kasat mata praktik tersebut melanggar hukum persaingan, pemateri Eropa menunjukkan pemahaman atas konteks kebijakan di Indonesia, yaitu adanya pengecualian dan perlindungan terhadap UMK.

Penulis sangat mendukung kebijakan perlindungan UMK yang ada di Indonesia. Kebijakan ini harus dilihat sebagai sebuah investasi jangka panjang, bukan sekadar toleransi terhadap praktik melanggar hukum. Tujuannya adalah untuk memberikan ruang bernapas bagi UMK agar dapat bertahan, mengkonsolidasikan sumber daya, dan pada akhirnya, memiliki kesempatan nyata untuk meningkatkan kelas usahanya menjadi usaha menengah atau bahkan besar di masa depan. Oleh karena itu, ketakutan terhadap persaingan usaha sehat seharusnya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Mereka memiliki “bantalan” perlindungan yang memadai. Berbeda halnya dengan pelaku usaha menengah dan besar. Bagi mereka, persaingan usaha yang ketat adalah sebuah keniscayaan dan tuntutan.

Justru persaingan usaha yang ketat dan sehat inilah yang menjadi mesin pendorong utama bagi peningkatan kualitas produk dan efisiensi. Persaingan memaksa pelaku usaha untuk berpikir lebih matang, berinovasi, dan memaksimalkan segala sumber daya yang dimiliki guna menghasilkan produk barang atau jasa terbaik dengan harga yang paling kompetitif bagi konsumen. Tanpa adanya persaingan usaha yang sehat, masyarakat Indonesia akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Dalam situasi “zona nyaman” tanpa kompetisi, pelaku usaha cenderung menjadi malas dan tidak terdorong untuk berinovasi. Mereka akan menghasilkan produk dengan kualitas seadanya. Meskipun demikian, konsumen terpaksa tetap membeli karena tidak ada alternatif produk lain dari pelaku usaha yang kompetitif.

Fenomena ini mengingatkan pada istilah yang pernah diutarakan oleh Presiden Prabowo Subianto, yakni serakahnomics. Istilah ini merujuk pada oknum pelaku usaha di Indonesia yang didorong oleh keserakahan semata untuk berbisnis tanpa memberikan manfaat yang berarti atau nilai tambah yang optimal bagi rakyat. Fenomena serakahnomics ini dapat tumbuh subur manakala terdapat zona nyaman yang tercipta bagi para pelaku usaha, yang membuat mereka enggan untuk bersaing secara adil, sehat, dan inovatif. Dengan demikian, persaingan usaha sehat adalah benteng pertahanan bagi konsumen dari praktik-praktik bisnis yang hanya didorong oleh keserakahan.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *