Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan
Di tengah tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat Palestina, banyak orang bertanya: apa yang bisa dilakukan oleh kita yang jauh dari lokasi konflik? Kita mungkin tidak punya senjata, tidak duduk di kursi diplomasi, dan tidak berpengaruh dalam kebijakan global. Tetapi ada satu hal sederhana yang bisa dilakukan, yaitu mengubah cara kita berbelanja. Boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel adalah salah satu langkah nyata yang lahir dari kesadaran moral dan keberpihakan pada keadilan.
Boikot bukanlah sekadar aksi emosional. Ia adalah gerakan terukur yang punya sejarah panjang. Kita bisa mengingat bagaimana dunia internasional dulu bersatu melakukan boikot terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan. Tekanan ekonomi, politik, dan moral yang muncul dari aksi kolektif warga dunia akhirnya berhasil meruntuhkan sistem diskriminatif itu. Artinya, ketika jutaan orang mengambil sikap bersama, perubahan besar bukanlah sesuatu yang mustahil.
Mengapa boikot penting? Pertama, karena konsumsi bukan sekadar urusan ekonomi. Setiap rupiah yang kita keluarkan adalah bentuk dukungan terhadap sistem produksi tertentu. Jika kita tetap membeli produk yang terbukti menyalurkan keuntungan untuk mendukung agresi Israel, secara tidak sadar kita ikut membiayai penindasan. Menolak produk itu adalah cara sederhana untuk berkata: “cukup, saya tidak ingin uang saya mengalir ke sana.”
Kedua, boikot adalah suara politik warga biasa. Kita mungkin tidak bisa melobi PBB atau menekan pemerintah, tapi kita bisa mengirimkan pesan kuat melalui pilihan konsumsi. Korporasi multinasional sangat peduli pada pasar. Jika pasar menunjukkan penolakan, mereka akan meninjau ulang sikap dan kebijakannya. Dengan begitu, boikot menjadi bentuk diplomasi publik yang bergerak dari bawah.
Ketiga, boikot justru bisa menjadi momentum bagi bangsa ini untuk memperkuat produk lokal. Selama ini kita sering bergantung pada brand internasional yang sebagian ternyata punya keterkaitan dengan Israel. Dengan beralih ke produk dalam negeri, kita bukan hanya menunjukkan solidaritas, tetapi juga memperkuat ekonomi nasional. Gerakan ini sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kita mampu berdiri di atas kaki sendiri.Tentu ada suara yang meragukan efektivitas boikot. Mereka bilang, Israel terlalu kuat untuk digoyahkan oleh aksi konsumen. Namun sejarah membantah pesimisme itu. Boikot bukan hanya soal melemahkan pihak tertentu, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif, menyebarkan nilai kemanusiaan, dan mengingatkan publik bahwa kita semua punya tanggung jawab moral. Bahkan jika dampaknya tidak langsung terasa, setiap pilihan boikot adalah batu bata kecil yang menyusun dinding perlawanan global.
Di era keterhubungan digital saat ini, gerakan boikot semakin kuat. Informasi tentang produk mana yang perlu dihindari beredar cepat. Edukasi publik tentang keterkaitan ekonomi dengan konflik juga semakin mudah dilakukan. Maka boikot bukan hanya aksi pasif menolak produk, tetapi bisa berkembang menjadi gerakan sosial yang mendorong perubahan pola konsumsi, kebijakan, dan solidaritas antarbangsa.
Akhirnya, boikot produk terafiliasi Israel adalah lebih dari sekadar sikap konsumen. Ia adalah pernyataan moral bahwa kita tidak rela menjadi bagian dari rantai penindasan. Ia adalah bahasa solidaritas yang sederhana, tetapi menggema. Dan jika dilakukan bersama-sama, ia bisa menjadi salah satu jalan menuju keadilan bagi Palestina, sekaligus memperkuat kedaulatan ekonomi kita sendiri.
Boikot produk terafiliasi Israel adalah pilihan kecil yang bermakna besar. Ia bukan hanya soal menolak barang tertentu, melainkan pernyataan sikap moral, solidaritas kemanusiaan, dan dukungan bagi kemandirian bangsa. Dari keranjang belanja, kita bisa ikut menyuarakan keadilan.