Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Fiksi MiniSastra

Perjalanan ke Hutan Larangan

×

Perjalanan ke Hutan Larangan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Alhamana Dafa Akbar

Ketua Umum PK PII Planet Nufo, Santri-Murid Kelas VII SMP Alam Nurul Furqon asal Nusa Tenggara Timur (NTT)

Example 300x600

Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika Arga, Bima, dan Sinta diam-diam meninggalkan desa. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang biasa digunakan oleh para pemburu. Jalan itu dipenuhi semak-semak tinggi, menyisakan hanya cukup ruang untuk mereka bergerak. Setiap langkah mereka terasa berat, namun hati mereka penuh semangat. Dalam tas kecil mereka, hanya ada bekal beberapa potong roti kering, botol air, dan senter. Meskipun tampaknya perjalanan ini sederhana, ketiganya merasakan ada sesuatu yang menunggu mereka.

“Jangan bilang siapapun tentang ini,” ujar Arga sambil menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka.

“Kalau orang dewasa tahu, kita pasti dilarang pergi.”

“Kau yakin hutan ini benar-benar berbahaya?” tanya Bima sambil memegang lehernya Meskipun ia berusaha untuk terdengar tenang, ia tak bisa menyembunyikan rasa khawatir di matanya.

“Mungkin cerita kakek itu hanya legenda untuk menakut-nakuti anak-anak.”

Sinta, yang biasanya selalu penuh semangat, tersenyum penuh arti. “Legenda biasanya memiliki sedikit kebenaran di dalamnya. Jika memang ada sesuatu yang tersembunyi di sana, kita harus menemukannya.”

Semakin mereka mendekati hutan, semakin sepi suasananya. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua. Burung-burung yang biasanya berkicau riang di pagi hari justru tidak terdengar sama sekali. Kicauan mereka yang biasa menggema kini digantikan oleh hening yang aneh dan hampir tak bisa dijelaskan.

Begitu melewati batas pepohonan pertama yang menjulang tinggi, mereka langsung merasa ada perubahan drastis. Rasa dingin yang tiba-tiba menyelimuti mereka membuat Bima menggigil, meskipun cuaca masih terasa hangat di luar hutan.

Di dalam Hutan Larangan, sinar matahari sulit menembus pepohonan raksasa yang tumbuh saling bersaing untuk meraih cahaya. Pepohonan itu terlihat sangat tua, dan cabang-cabangnya saling bersatu, menciptakan jaring-jaring bayangan yang melingkupi tanah. Cahaya yang masuk menciptakan bayangan panjang dan berkelok, memberikan kesan bahwa hutan ini memiliki kehidupan sendiri.

Sinta melangkah pelan, menajamkan pendengarannya, berusaha menyesuaikan diri dengan hutan yang terasa begitu berbeda dari biasanya. “Kalian merasakan itu?” bisiknya kepada keduanya, suaranya terdengar hampir terhisap oleh kesunyian yang menyelimuti mereka.

Arga mengangguk. “Hutan ini… terlalu sepi.”

Bima menelan ludah, perasaan gugup mulai muncul di dadanya. “Biasanya kita mendengar suara burung atau serangga. Tapi sekarang… tidak ada apa-apa.”

Ketiganya saling bertukar pandang, namun mereka tetap melangkah maju, berusaha menyingkirkan perasaan aneh yang mulai merayapi tubuh mereka. Seiring waktu, ketegangan mulai meresap di dalam hati mereka. Langkah mereka semakin terhenti setiap kali menemukan sesuatu yang berbeda dari biasanya.

Setelah hampir satu jam berjalan, mereka mulai menemukan tanda-tanda aneh.

Pertama, mereka melihat akar pohon yang membentuk pola spiral besar di tanah, seakan sengaja dibentuk oleh tangan gain yang tidak terlihat. Akar-akar itu mengarah ke sebuah titik tertentu di hutan, namun entah bagaimana, perasaan mereka mengatakan bahwa pola ini bukanlah sebuah kebetulan.

“Kalian lihat ini?” Sinta memegang nya, menyentuh pola spiral tersebut.

Matanya memicing, mencoba memahami maksud di baliknya. “Bukan bentuk alami… sepertinya ada maksud tertentu.”

Arga mengangguk, menatap pola spiral itu dengan serius. “Mungkin ini petunjuk. Kita harus terus maju.”

Namun semakin mereka melangkah, semakin banyak hal aneh yang mereka temui. Dahan pohon yang patah dengan cara yang tidak wajar, seakan ada sesuatu yang besar melintas di depan mereka .

Batu-batu yang tergeletak di tanah memiliki ukiran aneh, gambar yang tampak familiar namun tidak bisa dikenali. Bahkan jejak kaki misterius yang tidak mereka kenali yang ada di sepanjang jalan beberapa jejak tampak seperti jejak kaki manusia, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Ada sesuatu yang lain disini, sesuatu yang tidak bisa mereka jelaskan.

Lalu, mereka tiba di sebuah batu besar yang tampaknya menjadi penjaga hutan. Batu itu besar dan ditutupi oleh lumut hijau yang tampak sangat tua. Namun, ada sesuatu yang membedakan batu ini dari batu-batu lainnya. Di permukaannya terdapat ukiran simbol-simbol kuno, simbol yang sepertinya tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

“Ini pasti bukan batu biasa,” ujar Arga, sambil menyentuh permukaan batu yang terasa kasar dan dingin.
Bima menghela napas gugup. “Aku punya firasat buruk tentang ini.”

Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, tanah mulai bergetar dengan kekuatan yang mengejutkan. Mereka mundur kebelakang, kaget oleh getaran yang semakin kuat.

Tiba-tiba, batu besar itu perlahan bergeser ke samping, mengungkapkan sebuah celah gelap di bawahnya. Suara batu yang bergerak bergema di seluruh hutan, membuat burung-burung yang tadinya diam tiba-tiba beterbangan dengan panik, seolah mereka merasakan bahaya yang akan datang.

Angin dingin bertiup dari dalam celah itu, membawa aroma tanah basah yang kuat dan sesuatu yang lebih tua—sesuatu yang terasa berusia ratusan tahun. Hawa dingin itu seperti menyelimuti mereka, membuat Sinta menjadi takut.

Sinta terbelalak. “Ini… ini pasti jalan masuk ke kerajaan yang hilang!”

Bima mundur selangkah, wajahnya pucat. “Atau ini perangkap. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana.”

Arga, meskipun hati-hati, tidak bisa menahan rasa penasaran yang membara di dalam dirinya. Ia menyorotkan senter ke dalam celah itu. Gelap. Tidak ada tanda kehidupan di dalamnya, namun ada sesuatu yang lebih kuat di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini bukan sekadar gua biasa. Ini adalah pintu menuju sesuatu yang besar, dan mungkin, terlalu besar untuk dipahami.

Dengan nafas tertahan, ia melangkah mendekat, menatap celah yang terbuka di depan mereka. “Aku akan masuk.”

Sinta mengangguk, penuh semangat meski sedikit ketakutan. “Aku juga.”

Bima, yang awalnya ragu, kini tidak bisa mundur. “Kalian akan membuatku menyesal seumur hidup, tahu?”

Dengan hati-hati, mereka memasuki celah sempit itu, langkah mereka menjadi semakin gemetar saat melangkah jauh ke dalam kegelapan. Begitu mereka melewati celah itu, suara berat bergema di belakang mereka. Batu besar yang sebelumnya bergeser perlahan, kini kembali menutup, mengurung mereka dalam kegelapan yang total.

Petualangan mereka baru saja dimulai—dan mereka tak tahu apa yang menanti di depan.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Oleh: Puteri Azzahra Ketua OSIS SMP Alam Nurul…