Oleh: Diyan Dewan Jaya
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia berdiri di persimpangan jalan antara keberhasilan dan tantangan yang tak kunjung usai. Delapan dekade lalu, bangsa ini dibebaskan dari penjajahan. Namun hari ini, sebagian rakyatnya masih terjajah oleh kemiskinan, keterbelakangan, dan ketimpangan yang akut. Pada kuartal pertama 2025, pertumbuhan ekonomi melambat ke angka 4,87% terendah dalam lima tahun terakhir dan bahkan terkontraksi 0,98% secara kuartalan. Tingkat pengangguran tetap tinggi, dengan 7,28 juta orang tidak memiliki pekerjaan tetap. Ironisnya, kemiskinan memang turun secara statistik ke 9,03%, tetapi di lapangan, daya beli rakyat menurun, dan kelas menengah terus menyusut dari 21,5% pada 2019 menjadi hanya 17,1% di 2024. Di tengah itu semua, investasi asing pun anjlok hampir 7%, menunjukkan kegamangan investor terhadap arah bangsa ini.
Kemerdekaan hari ini terlalu sering dijadikan seremonial, padahal masih banyak rakyat yang belum benar-benar “merdeka.” Pembangunan masih berpusat di kota besar, meninggalkan daerah-daerah yang infrastruktur dasarnya saja belum layak. Pemerintah silih berganti menjanjikan “pemerataan,” tapi yang merata justru birokrasi yang lambat dan program-program yang tumpang tindih. Sementara itu, kebijakan populis seperti makan gratis digelontorkan dengan anggaran besar, tapi seringkali mengabaikan efisiensi dan beban jangka panjang pada keuangan negara. Di saat sektor industri dalam negeri justru lesu dan puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan, publik dipertontonkan pada pencitraan politik ketimbang solusi konkret.
Kritik ini bukan untuk merendahkan capaian yang telah ada. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam usia 80 tahun, bangsa ini seharusnya lebih mapan dalam membangun fondasi keadilan sosial dan ekonomi. Apakah kita telah setia pada amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum? Atau justru tersesat dalam pusaran elite dan kepentingan jangka pendek?
Refleksi kemerdekaan ini harus menjadi momentum untuk membenahi bukan hanya sistem, tapi juga kesadaran kita sebagai warga bangsa. Bahwa merdeka tidak cukup hanya dari penjajahan asing, tapi juga dari kebijakan yang timpang, dari keadilan yang tertunda, dan dari pembangunan yang berat sebelah.