Oleh: Delfia Melianing Tyas, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Salatiga
Dalam era globalisasi yang semakin kompleks, kesenjangan komunikasi antarbudaya menjadi tantangan yang tidak bias dihindari. Berdasarkan pengamatan saya, akar permasalahan ini jauh lebih dalam dari sekedar perbedaan bahasa atau kebiasaan sehari-hari. Kita perlu memahami bahwa setiap budaya memiliki kerangka berpikir yang unik. Cara pandang ini terbentuk dari ribuan tahun sejarah, nilai-nilai yang diwariskan, dan pengalaman kolektif masyarakat. Misalnya, masyarakat Barat yang individualistis.
Ini bukan sekedar stereotip, melainkan realitas yang dapat kita amati dalam interaksi sehari-hari. Sistem nilai yang tertanam dalam setiap budaya juga memengaruhi bagaimana informasi diinterpretasikan. Seperti konsep waktu bagi sebagian budaya, ketepatan waktu adalam mutlak, sementara budaya lain memiliki pemahaman yang lebih fleksibel. Perbedaan ini sering kali menciptakan gesekan dalam konteks bisnis atau hubungan professional.
Di beberapa budaya Asia, misalnya, struktur hierarkis sangat memengaruhi cara orang berkomunikasi. Penggunaan bahasa formal dan informal, gesture tubuh, bahkan waktu berbicara, semuanya diatur oleh norma-norma yang tidak tertulis namun sangat mengikat. Perbedaan budaya dan suku di perantauan seringkali menimbulkan kesulitan adaptasi yang signifikan.
Penggunaan bahasa daerah yang berbeda menjadi hambatan utama dalam membangun komunikasi efektif. Perantau yang terbiasa dengan logat dan dialek daerahnya sendiri terkadang kesulitan memahami nuansa bahasa setempat, yang bias menimbulkan kesalahpahaman. Kebiasaan dan nilai budaya yang berbeda juga menciptakan benturan dalam interaksi sosial. Mislanya, apa yang dianggap sopan di satu daerah bias jadi kurang pantas di daerah lain.
Gesture, cara berbicara, hingga etika makan memiliki interpretasi berbeda yang dapat memicu kecanggungan sosial. Adaptasi budaya membutuhkan waktu dan kesabaran. Perantau perlu aktif mempelajari budaya setempat sambil tetap menjaga identitas asalnya. Keterbukaan pikiran dan kemauan untuk memahami perbedaan menjadi kunci mengatasi kesenjangan komunikasi antarbudaya.Sebagai mahasiwa yang merantau dari Palembang ke Salatiga, saya kerap sekali mengalami bagaimana rasanya menghadapi benturan budaya yang mengejutkan.
Awalnya, semua terasa menyenangkan, kampus baru, teman-teman baru, dan suasana kota toleransi yang tentram dan damai. Namun, perlahan-lahan, perbedaan budaya mulai terasa mengganggu. Bahasa menjadi kendala pertama yang sangat terasa. Meskipun sama-sama berbahasa Indonesia, logat dan istilah lokal Salatiga sering membuat saya kebingungan. Ketika teman-teman menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan santai, saya merasa terasingkan.
Belum lagi ketika mereka bercanda dengan konteks budaya lokal yang sama sekali asing bagi saya. Sistem komunikasi tidak langsung dalam budaya Jawa juga sering membuat saya salah mengartikan. Di kampong halaman, kami terbiasa berbicara terus terang. Di sini, banyak pesan tersirat yang harus dipahami dari gesture dan konteks. Sering kali saya tidak menangkap sinyal “tidak” yang disampaikan dengan senyuman dan anggukan sopan.
Masalah makanan juga menjadi tantangan tersendiri. Lidah yang terbiasa dengan masakan Palembang yang pedas, asin, dan berempah harus beradaptasi dengan masakan Jawa yang cenderung manis. Pola interaksi sosial juga sangat berbeda. Di Palembang, bertemu orang baru tidak langsung akrab dan berbagi cerita. Tetapi di Salatiga, orang-orangnya sangat ramah, ternyata ini bagian dari tatakrama Jawa yang sangat menjunjung kesopanan dan keharmonisan.
Sistem kekerabatan dan kehidupan sosial yang berbeda juga mempengaruhi cara bergaul. Di Salatiga, hubungan persaudaraan sangat erat dan meluas. Kemudian memahami unggah-ungguh, cara berbicara yang berbeda tergantung dengan usia dan status lawan bicara. Pengalaman culture shock ini membuat saya belajar banyak hal. Saya mulai memahami bahwa tidak ada budaya yang lebih baik atau lebih buruk, semuanya unik dengan kearifannya masing-masing.
Belajar memahami jembatan antara dua budaya, menjelaskan keunikan budaya Melayu kepada teman-teman Jawa, dan sebaliknya. Culture shock memang tidak menyenangkan, tapi ini adalah proses yang mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang lebih adaptif dan bijaksana. Bagi mahasiswa rantau lainnya, jangan takut menghadappi perbedaan budaya. Jadikan ini sebagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.