Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Esai

Lelaki Lebih Layak? (Refleksi Seorang Cucu Perempuan di Meja USG)

×

Lelaki Lebih Layak? (Refleksi Seorang Cucu Perempuan di Meja USG)

Sebarkan artikel ini
Oplus_0
Example 468x60

Oleh: Afidatul Khasanah, Mahasiswa Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga

Nduk, ibu doain yaa… semoga anak pertamamu laki-laki.”
Kalimat itu meluncur pelan dari bibir ibu saya, calon nenek, saat kami menuju rumah sakit untuk melakukan USG kehamilan anak sulung saya.
Saya menoleh, tersenyum kecil, lalu bertanya, “Memangnya kenapa, Buk, kalau ternyata perempuan?”
Ibu saya diam sejenak, lalu menjawab dengan suara yakin namun lembut: “Yaa.. lelaki itu lebih kuat. Di kampung kita, anak pertama itu sebaiknya lelaki. Dia bisa jadi tulang punggung, lebih dihormati orang, dan bisa menanggung beban keluarga.”
Saya terdiam. Bukan karena setuju. Tapi karena saya pernah menjadi anak perempuan pertama yang harus kuat dan dihormati, walau tidak pernah dianggap cukup pantas untuk itu.

Example 300x600

Fenomena harapan besar agar anak pertama berjenis kelamin laki-laki bukanlah hal asing di banyak desa di Indonesia. Bukan karena faktor medis, bukan pula karena alasan spiritual, melainkan karena konstruksi sosial yang telah bertahun-tahun membentuk pola pikir bahwa anak lelaki “lebih layak” menyandang peran sebagai pemimpin, penjaga martabat, dan penerus garis keluarga.

Menurut laporan riset oleh UNICEF (2020), persepsi bahwa laki-laki lebih pantas menjadi pemimpin keluarga dan masyarakat masih dominan di wilayah pedesaan Indonesia. Studi ini mengungkap bahwa 72% responden di wilayah pedesaan Jawa dan Nusa Tenggara mengakui bahwa keluarga lebih mengharapkan anak laki-laki sebagai anak pertama karena dianggap dapat menjadi tulang punggung ekonomi.

Dalam banyak masyarakat pedesaan, kehamilan menjadi ajang penuh harap dan tegang, terutama Ketika tiba waktunya “menebak” jenis kelamin sang bayi. Orang tua, sering kali mengungkapkan harapan agar anak pertama adalah laki-laki. Dalam doa-doa, ucapan syukur, bahkan bisik-bisik tetangga, terselip penilaian tak kasatmata bahwa anak lelaki membawa “derajat” bagi keluarganya. Sementara jika yang lahir adalah perempuan? Maka reaksi seringkali lebih datar. Ada senyum, tetapi jarang sorak sorai. Bahkan tak jarang disertai kalimat seperti, “Yah, nggak apa-apa. Mungkin nanti anak kedua laki-laki.”

Sayangnya, anggapan ini terus direproduksi secara turun-temurun, bahkan oleh para perempuan sendiri. Tak jarang para ibu dan nenek tanpa sadar ikut mempertahankan narasi bahwa laki-laki lebih unggul karena kuat, rasional, dan tahan banting. Perempuan justru dilihat sebagai pendamping, pelengkap dan bukan penanggung. Namun, benarkah perempuan tidak mampu memikul beban dan mengambil peran pemimpin

Perempuan dalam Kepemimpinan

Fakta lapangan berkata sebaliknya. Dalam ranah kepemimpinan, perempuan telah membuktikan kapasitas dan keunggulan mereka di berbagai tingkat. Data dari Kementerian Dalam Negeri (2023) menunjukkan bahwa dari 74.961 desa di Indonesia, sebanyak 3.851 desa kini dipimpin oleh kepala desa perempuan. Meski baru sekitar 5,13%, angka ini merupakan peningkatan dibanding satu dekade lalu. Perempuan yang memimpin desa terbukti mampu mendorong inovasi pembangunan lokal, pemberdayaan perempuan, serta pendekatan kepemimpinan berbasis empati dan inklusivitas.

Di tingkat daerah, jumlah kepala daerah perempuan juga terus bertambah. Hingga 2024, Indonesia memiliki setidaknya 9 perempuan yang menjabat sebagai gubernur atau wakil gubernur, serta lebih dari 50 bupati/wali kota perempuan. Nama-nama seperti Sherly Laos di Maluku Utara, Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur dan Jihan Nurlela Chalim sebagai Wakil Gubernur Lampung menunjukkan bahwa perempuan mampu mengelola birokrasi dan masyarakat dengan visi transformatif.

Tak kalah penting, di level nasional, peran perempuan dalam DPR RI semakin kuat. Hasil Pemilu 2019 mencatat 120 dari 575 anggota DPR RI adalah perempuan (20,8%). Angka ini merupakan representasi perempuan tertinggi sepanjang sejarah parlemen Indonesia. Mereka aktif dalam pembuatan kebijakan, pengawasan anggaran, hingga perlindungan kelompok rentan.

Temuan ini sejalan dengan penelitian dari Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2008), yang menekankan bahwa dominasi laki-laki dalam ruang publik bukan karena kompetensi, melainkan karena sistem sosial yang timpang. Ketika perempuan diberi akses yang setara, mereka terbukti mampu berkontribusi sama bahkan melebihi.Bias yang Diajarkan Sejak Dalam KandunganIronisnya, ketimpangan ini tidak hanya hidup di ruang publik, tetapi juga dimulai dari ruang paling privat, yaitu rahim dan ruang tunggu rumah sakit. Doa agar anak pertama laki-laki mencerminkan bias sosial yang sudah sangat awal ditanamkan.

Studi oleh UNICEF dan Bappenas (2022) mengungkap bahwa ketimpangan gender dimulai bahkan sejak tahap perencanaan kehamilan. Banyak keluarga cenderung memprioritaskan investasi pendidikan, gizi, hingga dukungan emosional pada anak laki-laki, sementara anak perempuan masih dianggap sebagai “penunggu jodoh” atau “penjaga rumah”.

Hal ini tentu akan berdampak jangka panjang. Anak perempuan tumbuh dengan tekanan ganda. Dituntut untuk kuat seperti laki-laki, tapi tetap harus patuh seperti perempuan. Ketika berhasil, penghargaan terhadap perempuan sering kali baru muncul ketika mereka “menyerupai laki-laki”. Kuat, mandiri, sukses. Mereka dipuji karena “hebat seperti laki-laki”, bukan karena kehebatannya sebagai perempuan.Saatnya Mengubah Doa Kita, sudah semestinya kita mengubah isi doa-doa kita. Bukan lagi “semoga anak pertama laki-laki”, tapi “semoga anak ini sehat, menjadi manusia adil, Tangguh, dan penuh kasih.” Jenis kelamin tidak menentukan kapasitas kepemimpinan maupun ketangguhan seseorang. Yang lebih penting adalah ruang tumbuh, kepercayaan, dan kesempatan yang setara. Menjadi kuat bukan hak istimewa anak laki-laki. Dan menjadi lembut bukan kelemahan anak perempuan. Keduanya adalah manusia utuh dengan potensi dan jalan hidupnya masing-masing.

Jika kita terus menanamkan bahwa hanya anak laki-laki yang pantas memimpin, kita sedang membentuk masyarakat yang pincang. Masyarakat yang hanya menghormati setengah dari potensinya.

Sebagai cucu dari perempuan desa yang sabarnya luar biasa, sebagai anak dari seorang ibu yang mendoakan anak lelaki, dan kini sebagai calon ibu yang sedang duduk di ruang tunggu USG, saya memilih untuk berdoa berbeda. Saya tidak peduli apakah bayi ini laki-laki atau perempuan. Yang saya doakan adalah agar ia tumbuh menjadi manusia yang tahu bahwa ia layak dihormati dan dicintai, bukan karena jenis kelaminnya, tetapi karena ia adalah manusia yang sejatinya diberikan hak sama oleh sang Pencipta.

REFERENSI
UNICEF & BAPPENAS. (2022). Gender Equality in Early Childhood: Addressing Bias in Family Prastices. Jakarta: UNICEF Indonesia.
Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Puslitbang Kemendagri. (2023). Laporan Statistik Kepala Desa Perempuan di Indonesia. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemendagri.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Esai

Oleh: Ahmad Muntaha Dia pergi di tengah gemuruh…