Oleh: Zaki Musyaffa, Mahasiswa UIN Salatiga
Menurut saya, demokrasi memang menawarkan banyak keuntungan, terutama dalam hal partisipasi dan kebebasan. Pernyataan ini bukan sekadar teori yang saya pelajari di bangku kuliah, tetapi sesuatu yang saya rasakan langsung dalam berbagai aspek kehidupan, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai warga negara. Demokrasi memberi ruang bagi saya untuk bersuara, berpendapat, dan ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, meskipun tentu tidak selalu berjalan mudah atau ideal.
Pengalaman pertama saya bersentuhan dengan nilai-nilai demokrasi terjadi saat duduk di bangku SMA dan menjadi bagian dari organisasi OSIS. Saat itu, saya mencalonkan diri sebagai ketua OSIS dan mengikuti proses pemilihan yang cukup terbuka. Para kandidat diminta menyampaikan visi dan misi, menjawab pertanyaan dari siswa lain, hingga akhirnya dilakukan pemungutan suara. Walaupun hanya dalam lingkup sekolah, proses tersebut memberikan gambaran nyata tentang mekanisme demokrasi: ada kompetisi gagasan, keterlibatan pemilih, dan harapan akan pemimpin yang mewakili aspirasi bersama.
Namun dari pengalaman itu pula saya belajar bahwa demokrasi tidak cukup hanya menyediakan kotak suara. Banyak siswa yang memilih berdasarkan popularitas, bukan karena program kerja. Hal ini menyadarkan saya bahwa partisipasi dalam demokrasi harus disertai pemahaman yang memadai. Demokrasi tidak akan menghasilkan pemimpin yang baik jika masyarakat sebagai pemilih tidak kritis dan kurang peduli terhadap isu-isu penting.
Fenomena serupa juga saya lihat dalam pemilihan umum di Indonesia, di mana sebagian masyarakat masih terjebak pada politik uang, politik identitas, atau memilih karena fanatisme, bukan pertimbangan rasional. Ini merupakan tantangan serius bagi kualitas demokrasi kita.
Sebagai mahasiswa, saya sering mengikuti berbagai diskusi kampus terkait isu-isu demokrasi, hak asasi manusia, dan politik. Forum-forum tersebut memperluas wawasan dan membuat saya menyadari bahwa demokrasi bukan sistem yang sempurna, namun tetap menjadi sistem terbaik sejauh ini dalam menjamin kebebasan individu dan keadilan sosial. Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tetapi juga menyangkut penghormatan terhadap suara minoritas, penegakan hukum yang adil, dan ruang untuk mengkritik pemerintah tanpa rasa takut.
Salah satu pengalaman paling mengesankan bagi saya adalah ketika ikut serta dalam aksi demonstrasi mahasiswa menolak revisi undang-undang yang dianggap melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di tengah panasnya cuaca dan desakan massa, saya merasakan semangat kolektif yang luar biasa. Kami hadir bukan karena disuruh, tetapi karena merasa bertanggung jawab atas masa depan bangsa. Meskipun tidak semua tuntutan kami dikabulkan, momen itu mengajarkan saya bahwa partisipasi aktif adalah kunci agar demokrasi tetap hidup.
Namun, menjaga semangat demokrasi tidaklah mudah. Saya sering menjumpai teman-teman yang apatis, merasa bahwa suara mereka tidak akan mengubah apa pun, bahwa politik itu kotor, dan demokrasi hanya kedok bagi elite untuk berkuasa. Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, karena kenyataan sering kali menunjukkan adanya korupsi, manipulasi, dan dominasi kelompok tertentu. Namun saya yakin bahwa menyerah pada apatisme hanya akan memperburuk keadaan.
Dari semua pengalaman tersebut, saya belajar bahwa demokrasi memerlukan komitmen dan konsistensi. Tidak cukup hanya datang ke TPS lima tahun sekali, tetapi juga penting untuk terus memantau kinerja wakil rakyat, menyuarakan pendapat di ruang publik, dan menjadi warga negara yang kritis. Dalam keseharian, saya berusaha menerapkan nilai demokrasi dengan terbuka terhadap perbedaan pendapat, menghargai perspektif orang lain, dan tidak memaksakan kehendak.
Sebagai bagian dari generasi muda, saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Kita hidup di era digital yang penuh peluang, namun juga tantangan seperti hoaks, polarisasi, dan ujaran kebencian. Oleh karena itu, literasi digital sangat penting agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam informasi yang menyesatkan. Demokrasi akan rapuh jika masyarakatnya mudah diadu domba atau dimanipulasi.
Saya percaya bahwa demokrasi hanya akan berhasil jika didukung oleh keadilan sosial. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, tanpa terkendala oleh faktor ekonomi, pendidikan, atau latar belakang. Pemerintah harus memastikan bahwa suara dari daerah terpencil, kelompok minoritas, dan masyarakat miskin juga didengar dan diperhatikan.
Pendidikan menjadi kunci. Pendidikan demokrasi sejak dini dapat membentuk generasi yang lebih peduli, lebih kritis, dan bertanggung jawab. Saya ingin terus belajar, mendengar, dan bertindak demi terwujudnya demokrasi yang tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia—dari kota hingga desa, dari pusat hingga pelosok, dari yang bersuara lantang hingga yang selama ini bungkam.