Oleh: Algazella Sukmasari, S. Pd., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo Rembang
Cap Go Meh yang identik dengan masyarakat Tionghoa dan Nishfu Sya’ban untuk umat muslim nyatanya punya beberapa kesamaan. Kebetulan saja keduanya diperingati di bulan Februari secara berurutan, yaitu pada tanggal 12 dan 13. Di Indonesia, dua hari ini menjadi sesuatu yang memiliki makna tersendiri bagi masing-masing pemeluk. Fun fact-nya, Cap Go Meh dan Nishfu Sya’ban justru sama-sama jatuh setiap tanggal 15 baik pada kalender Cina maupun kalender Hijriah.
Untuk Cap Go Meh, istilah ini tidak diambil dari bahasa Mandarin. Akan tetapi, istilah ini berasal dari dialek Hokkien, “Chap Goh Meh” atau 十五冥 yang berarti “malam kelima belas”. Cap Go merupakan bilangan ke-15 dan Meh adalah malam. Namun, Cap Go Meh di Tiongkok umumnya lebih dikenal dengan Festival Lampion atau yuánxiāo jié. Yuan Xiao Jie ini memiliki makna yang berbeda, yakni festival malam bulan Januari. Di kancah internasional, Cap Go Meh lebih dikenal dengan sebutan Festival Lentera atau Lantern Festival.
Ada dua cerita berbeda tentang asal-usul Cap Go Meh. Salah satunya mengatakan bahwa Kaisar Han Ming Di memerintahkan seluruh kuil, rumah tangga, bahkan istana untuk turut menyalakan lampion sebagai bentuk penghormatan dalam mengikuti kebiasaan para biksu Buddha. Versi lain menyatakan tentang sebuah legenda dari Kaisar Giok yang diperdaya oleh rakyatnya sendiri demi menyelamatkan desa dari kehancuran. Desa ini terselamatkan dari murka Kaisar Giok dan tradisi untuk menyalakan lampion demi terhindar dari amukan sang kaisar pada malam ke-15 masih terus dilakukan.
Selain dikenal sebagai valentine-nya masyarakat Tionghoa, Cap Go Meh dalam ajaran Konghucu juga merupakan sarana berdoa kepada orang tua dan memohon kepada Tian atau Tuhan/Surga dan menjadi akhir dari seluruh rangkaian tahun baru Imlek. Oleh sebab itu, ada berbagai macam cara untuk memeriahkan Cap Go Meh di berbagai daerah di Indonesia sesuai kebudayaan setempat. Misalnya saja, lontong Cap Go Meh yang menjadi campuran kebudayaan Tionghoa-Jawa dan hanya bisa ditemukan di Pulau Jawa untuk menggantikan tang yuan (semacam ronde). Atau Pawai Tatung di Singkawang dengan pertunjukan “debus”-nya, Ruwat Bumi di Salatiga, dan arak-arakan Sipadan-Kio di Padang. Meski begitu, pparade liong-barongsai masih tetap dilakukan.
Sementara itu, Nishfu Sya’ban adalah peringatan pada tanggal 15 bulan kedelapan atau Sya’ban dalam kalender Islam atau Hijriah. Istilah ini berasal dari bahasa Arab dengan نصف yang berarti telah mencapai tengah-tengah atau setengah. Di Arab, hari ini dikenal sebagai Laylatul Bara’ah atau Laylatun Nisfe min Sha’ban dan Shab-e-barat untuk kawasan Asia Selatan. Banyak julukan untuk malam ini, seperti: malam pengampunan dosa, malam berdoa, atau malam pembebasan. Biasanya, umat muslim di Indonesia akan berduyun-duyun menuju masjid untuk bermunajat pada Allah semalam suntuk. Ada berbagai amalan yang dipercaya merupakan sarana menggugurkan dosa setahun penuh. Amalan yang dimaksud tentu saja seperti berpuasa, solat ratusan rakaat Nishfu Sya’ban, atau membaca surat Yasin tiga kali.
Selain amalan-amalan yang biasa dilakukan, ada beberapa tradisi untuk melengkapi suasana malam Nishfu Sya’ban di Indonesia. Misalnya, syabanan di Brebes yang diawali dengan berziarah. Juga ruwahan orang Betawi sebagai ajang silaturahmi sebelum Ramadlan, kupatan di Wonogiri, punggahan di Salatiga, dan baratan di Jepara.
Tidak Begitu IstimewaBaik Cap Go Meh maupun Nishfu Sya’ban bisa dianggap istimewa atau tidak tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Namun, ada beberapa alasan yang membuat keduanya dinilai bukan menjadi hal yang spesial lagi dibandingkan perayaan lain.Pertama, keduanya bukanlah hari libur nasional. Berbeda dengan Tahun Baru Imlek yang dijadikan hari libur di beberapa negara, Cap Go Meh atau Yuan Xiao Jie biasanya tidak memiliki status hari libur yang resmi. Begitu pula dengan Nishfu Sya’ban yang bukan merupakan hari raya atau hari besar Islam. Kedua, perayaan. Perayaan Cap Go Meh hanya menjadi ajang keseruan dan kemeriahan selayaknya pesta biasa. Pun dalam keyakinannya, ada orang-orang Tionghoa yang tidak antusias dalam merayakannya karena tidak bersifat wajib. Bahkan, di beberapa daerah Indonesia dengan skala Tionghoa yang menjadi minoritas, Cap Go Meh bisa jadi ditiadakan.
Sementara, dalam perayaan malam Nishfu Sya’ban justru ada perbedaan pandangan. Ada yang mengatakan itu sunnah dan ada yang mengatakan itu bid’ah. Hal ini didasarkan pada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits tentang keutamaan Nishfu Sya’ban memiliki derajat yang lemah/dlaif atau palsu/maudhu’. Karena dalam riwayat sesungguhnya, tidak ada ibadah khusus yang diwajibkan secara langsung oleh Rasulullah saw pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagian yang lain tetap menganggapnya sebagai malam yang baik untuk beribadah dengan pertimbangan hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Menyikapi hal ini, ada beberapa tindakan yang bisa diambil dalam memandang perayaan-perayaan tersebut. Dalam kaitannya dengan Cap Go Meh, tentu toleransi menjadi hal yang utama. Tidak perlu ikut campur dalam bidang yang tidak ada urusannya sama sekali. Agamamu agamamu, agamaku agamaku. Bahkan suatu hal yang memalukan ketika satu ormas Islam menolak festival kuliner Cap Go Meh (yang notabene nonhalal) di Solo baru-baru ini. Tentu menjadi berita yang mengejutkan hingga menuai polemik dan kontroversi karena dianggap intoleransi serta membuat Islam dicap sebagai agama biang onar.
Kemudian, dengan kaitannya dengan Nishfu Sya’ban. Ada baiknya sebagai sesama umat Islam untuk mengingatkan ke jalan kebenaran. Ritual Nishfu Sya’ban datangnya dari tabi’in Syam dan tidak ada hubungannya dengan sunnah Nabi Muhammad saw. Apabila hal ini terus dilakukan, tentu menjadi semacam bid’ah. Bukankah seolah hal ini menyatakan bahwa pendapat tabi’in lebih kuat dibanding perkataan Rasulullah saw? Na’udzubillah.
Cap Go Meh dan Nishfu Sya’ban menjadi dua hal yang mewarnai perayaan akan keberagaman suku dan budaya di Indonesia. Meski sama-sama momen yang bersifat spiritual, ada baiknya kedua hal ini disikapi dan ditanggapi dengan cara yang berbeda.